Oleh Weinata Sairin, Pendeta Gereja Kristen Pasundan
“Omnia humana brevia et caduca sunt. Semua yang manusiawi itu pendek dan akan lenyap musnah”.
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Ia dicipta (Ibrani: bara) dari ketiadaan, menjadi ada. Ia bukan ada secara “sim sala bim”; ia dihadirkan menjadi berada oleh Allah, Kuasa Transenden. Kuasa Transenden, adalah Kuasa Yang Di atas, Kuasa Ilahi, kuasa yang tidak akan pernah tersaingi dan tertandingi. Allah itu Khalik, manusia itu makhluk. Sudah pasti terdapat beda signifikan antara Pencipta, Khalik, dengan yang dicipta, makhluk. Khalik tidak berada dalam ruang kefanaan, Khalik tidak terkena, tersentuh dan atau berada dalam frame waktu. Khalik mengatasi waktu, Ia terbebas dari dimensi waktu.
Manusia berada dalam ruang dan waktu. Sebagai makhluk yang dicipta ia berdimensi waktu, ia dikuasai kefanaan dan sebab itu ia memiliki limit. Kita bersyukur bahwa manusia dalam kefanaannya, kelemahan dan keterbatasannya diberi mandat oleh Allah untuk mengelola bumi agar bumi dengan seluruh isinya memberi kemaslahatan bagi umat manusia dari generasi ke generasi. Dalam konteks amanat itu, manusia dianugerahi Allah akal budi, perasaan, intelektualitas sehingga tugas pengelolaan itu dapat dilaksanakan dengan lebih baik.
Oleh karena manusia adalah makhluk yang dikuasai kefanaan, maka semua produk yang dibuat manusia adalah juga produk yang “fana” bukan sesuatu yang abadi, sesuatu yang waktunya terbatas. Dan semua yang ada di dalam dunia adalah barang yang fana, yang suatu saat akan musnah.
Fana artinya tidak kekal, sementara, terbatas, sesuatu yang pada suatu saat akan lenyap dan musnah.
Dari segi bahasa, fana itu adalah lenyap, hancur, sirna, hilang. Menurut sebuah literature, istilah fana muncul dalam kajian tasawuf di abad III Hijriyah. Sufi yang pertama kali bicara tentang kefanaan adalah Abu Yasid Al-Bustami. Al Qusyairy penulis tasawuf abad V Hijriyah menjelaskan bahwa fana itu menunjuk kepada gugur atau hilangnya sifat-sifat tercela dan mengisyaratkan hadirnya baka (kekekalan), yaitu munculnya sifat-sifat terpuji.
Sejak awal manusia sudah sangat faham bahwa dirinya terikat dalam belenggu kefanaan. Kondisi itu tak bisa ditolak atau dilawan karena kefanaan adalah hakikat dari kemakhlukan. Walaupun manusia menyadari bahwa ia adalah sosok yang fana, yang waktunya terbatas dan punya garis akhir, namun acapkali kefanaan itu tidak nampak eksplisit dalam sikap hidup sehari-sehari. Sikap dan perilaku manusia yang arogan, menyalahgunakan kekuasaan, mendiskriminasi bahkan menindas, menyuap dan korupsi, membunuh tanpa sebab, mendemonstrasikan perilaku yang barbar, yang arkaistis, yang tidak fana.
Perilaku manusia di era sekarang, di zaman now nyaris mempertontonkan sosok manusia yang menafikan hakikat kefanaannya. Manusia ignore dengan kesementaraannya, dengan kefanaannya, manusia apatis dan masa bodoh dengan soal-soal kefanaan. Manusia fana seharusnya benar-benar mempersiapkan waktu yang ada, menginvestasi kebajikan selama ada waktu, selama hari masih siang. Manusia fana yang sadar dan siuman akan hakikat kediriannya, adalah sosok yang berupaya agar dalam hidupnya mempraktikkan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.
Agama-agama selalu mengingatkan para penganutnya agar sebagai manusia fana memanfaatkan waktu yang ada untuk melakukan perbuatan baik sebanyak-banyaknya, dan tidak terjebak untuk hanya memprioritaskan urusan “mencari barang dunia”.
Pepatah kita mengingatkan bahwa semua yang manusiawi itu pendek dan akan lenyap musnah. Kita semua apa pun agama kita sedang berjalan dari civitas terena menuju civitas dei. Semua yang ada di bumi akan lenyap dan musnah, termasuk umat manusia. Kita mesti menyadari kefanaan kita dan waktu yang terbatas. Mari melakukan yang terbaik bagi semua orang.
Manusia fana adalah manusia yang acap gagap dalam berhadapan dengan sesuatu yang baru, sama gagapnya dengan seorang kakek uzur yang tak mampu berkomunikasi dengan cucunya di lokasi yang lain dengan menggunakan aplikasi Zoom, Telegram atau Skype. Tatkala Covid-19 datang bertandang ke negeri ini, banyak petinggi yang menganggap sebagai flu biasa yang bisa diusir dengan menenggak beberapa butir Neozep forte atau Mr Bodrex. Ternyata Covid-19 bukan flu biasa tapi virus baru yang track record-nya belum bisa dilacak di Google. Bahkan dalam perkembangan terkini, virus itu telah melahirkan virus jenis baru yang disebut B117.
Kemudian kita semua nyaris kelu dan gagap untuk mengusir virus jahanam yang menggerus hidup dan peradaban umat manusia itu.
Covid-19 meneguhkan dengan legitim bahwa manusia itu fana, dan fana. Mari dalam kefanaan itu kita menabur kebaikan demi mempersiapkan era kekekalan yang akan kita raih pada saatnya sesuai dengan kairos Allah.
Selamat berjuang. God bless!