Fri. Nov 22nd, 2024
Pater Kimy

Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris

 

TEMPUSDEI.ID (14 MARET 2021)

Satu keluarga kecil, ayah ibu dan seorang anak umur 5 tahun pergi ke restoran untuk makan malam. Begitu mereka duduk, pelayan dengan sigap datang, menyapa mereka dengan senyum dan siap mencatat pesanan mereka. Setelah orang tua memesan makanan, pelayan bertanya kepada anak kecil dengan penuh hormat.

“Tuan, anda mau pesan apa?” Terkejut dipanggil tuan, mata anak ini berbinar-binar bangga. “Aku pesan hotdog“, jawabnya. Spontan ibunya jawab: “Jangan hotdog! Berikan dia kentang, daging sapi dan sayuran”. Tanpa menghiraukan kata-kata ibu anak itu, pelayan terus merespon anak ini. “Tuan mau hotdog dengan kecap atau tanpa kecap?”. Anak itu dengan cepat menjawab: “Dengan kecap!”. “Baik, pesanan Anda dicatat”. Lalu pelayan itu pergi.

Setelah itu anak ini menatap wajah ibunya sambil berkata: “Mama, pelayan itu menganggap aku ada dan nyata”.

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal…” (Yoh 3,16). Inilah kutipan kata-kata Yesus kepada Nikodemus, seorang kaya dan anggota Sanhedrin yang terhormat. Nikodemus adalah pengagum dan pengikut Yesus secara diam-diam. Karena itu dia pun menjumpai Yesus dan bercakap-cakap dengan-Nya di malam hari.

Ucapan ini bisa dianggap sebagai ringkasan dari seluruh Injil, yang menunjukkan siapa Allah, siapa Yesus dan siapa manusia di mata Allah.

Dalam bahasa Santo Agustinus dikatakan begini: “Allah mengasihi masing-masing dari kita seolah-olah hanya kita seorang diri yang dikasihi”. Artinya, di mata Allah setiap pribadi bernilai dan berharga sehingga harus dikasihi. Pribadi yang satu sama artinya dengan pribadi yang lain.

Untuk menunjukkan kasih-Nya, Dia mengutus Putera-Nya, Yesus Kristus, untuk menyelamatkan dunia dengan menderita di atas kayu salib.

Penyaliban ini diumpamakan dengan “pengangkatan ular tembaga” oleh Musa di padang gurun. Barangsiapa digigit ular, dia hanya perlu datang memandang ular itu dan disembuhkan (Bil 21,4-9).

Karena kuasa Allah, ular tembaga saja bisa menyembuhkan dan menyelamatkan. Kuasa Allah yang sama membuat salib Yesus yang merupakan tanda penghinaan menjadi sarana keselamatan.

Dengan membiarkan diri dipakai oleh Bapa-Nya, Yesus menjadi “Mediator Kasih Allah”. Tapi Yesus bukan alat mati. Dia hidup dan punya kehendak. KehendakNya disesuaikan dengan kehendak Allah.

“Dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Dia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2,9).

Dalam arti ini Yesus adalah pribadi yang “sudah selesai dengan diri-Nya sendiri”. Bagi-Nya Allah dan manusia adalah segala-galanya. Kehendak-Nya adalah menuruti kehendak Allah dalam segala kebebasannya.

Hanya orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri yang bisa melihat dan mendengar Allah, sekaligus menyadari bahwa setiap pribadi ada dan nyata. Orang inilah yang sungguh hidup dalam terang. Orang inilah yang mampu menjadi mediator kasih Allah.

Sudah selesaikah aku dengan diriku?

Salam hangat dari Wisma Sang Penebus-Nandan, Yogyakarta.

Related Post

Leave a Reply