Oleh Romo Albertus Herwanta, O. Carm
TEMPUSDEI.ID (14 MARET 2021)
Belajar dari sejarah membuat orang lebih bijaksana. Minimal tidak mengulangi kesalahan yang sama. Meski manusia lebih cerdas daripada keledai, dalam menghadapi kesalahan manusia kerap kalah. Bukankah keledai tidak akan terantuk pada batu yang sama, tetapi manusia kerap melakukan kesalahan yang itu lagi?
Sejarah umat Israel menunjukkan manusia yang berulang kali melakukan kesalahan yang sama. Mengabaikan hukum Tuhan, melanggar sabat dan menghina nabi-nabi yang diutus-Nya untuk menegur dan mendidik mereka.
Akibatnya, negeri mereka diserbu bangsa Kasdim, rumah sembahyang mereka dihancurkan dan yang selamat dari mata pedang dibuang ke Babel. Tujuh puluh tahun (sepuluh kali tahun sabat) mereka dalam pembuangan. Berkat bantuan Allah yang menggunakan raja Koresh dari Persia mereka dibawa kembali pulang ke negerinya. Dipulihkan.
Sang Guru Kehidupan yang dijumpai oleh Nikodemus pada waktu malam bersabda, “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3: 16). Nikodemus menganggapnya sebagai guru (rabbi).
Lebih dari seorang rabbi, Dia diutus ke dunia untuk mengingatkan dan mengajar supaya orang percaya kepada Allah. Dia datang bukan untuk diri-Nya sendiri, tetapi untuk menyatakan kasih Allah. Yang diharapkan adalah orang menjadi percaya dan diselamatkan.
Bagaimana tanggapan manusia? Hanya sebagian yang percaya. Sisanya masih belum juga mau percaya. Apakah mereka tidak belajar dari sejarah umat Israel yang karena mengabaikan Tuhan kemudian dibawa ke pembuangan?
Pembuangan bangsa Israel itu diakhiri dengan membawa mereka kembali ke negerinya. Bukankah orang-orang yang tidak mau percaya kepada utusanTuhan ini juga akan dibuang? Tidak dibuang di dunia ini sehingga masih bisa dipulihkan, tetapi dalam pembuangan abadi; pembuangan kedua.
Minggu, 14 Maret 2021 pada Minggu Prapaskah IV