TEMPUSDEI.ID (22 MARET 2021)
Pak Martin, salam kenal. Saya punya masalah yang sebenarnya tidak terlalu serius. Saya memiliki rekan kerja yang punya sikap sinis kepada orang lain yang pendidikannya rendah atau keterampilannya terbatas. Dia selalu anggap remeh dan sinis. Saya beberapa kali “terpaksa: mengingatkan sikapnya itu, tapi tetap saja. Orang seperti ini punya sakit psikologiskah? Bagaimana menghadapi? Meski tidak terlalu serius, tapi saya terganggu dengan orang jenis ini…. hehehe
Terima kasih. Salam hangat dan Sehat.
Caecilia Ayu, Bandung
Ibu Caecilia Ayu yang sedang galau,
Realitanya, kerapkali kita berjumpa dengan orang yang suka bersikap sinis dan meremehkan orang lain. Orang-orang seperti ini sering disebut netting, alias negative thinking. Ini juga, saya bahas di buku saya Toxic Employee. Saya menyebut sikap ini sebagai negaholic alias kebiasaan bersikap negatif terhadap segala sesuatu di sekitarnya, termasuk sinis kepada rekan-rekan di sekitarnya.
Hanya saja, pada diri rekan Anda, sikap sinisnya ia tujukan kepada mereka yang dia anggap pendidikannya lebih rendah, atau yang dianggap kurang dibandingkan dirinya.
Apakah ini penyakit? Bukan sih. Tapi kalau sikap dan kebiasaan, iya. Artinya, itulah pola yang dipakai rekan Anda tersebut dalam menilai dan bersikap kepada orang tertentu.
Ada beberapa poin penting soal orang yang suka bersikap sinis dan meremehkan orang lain yang perlu kita pahami.
Pertama, orang demikian biasanya adalah orang yang tidak pede dan juga bermasalah. Bisa jadi dulunya dia dibesarkan di lingkungan yang sering meremehkannya. Misalkan dulunya dia adalah korban. Maka, kelak, rasa sakit hatinya, dibalas dengan memperlakukan orang lain seperti itu. Jadi, sebenarnya ketika dia meremehkan orang lain, dia sendiri sebenarnya tidak punya rasa aman dengan dirinya.
Kedua, bisa juga dia selama ini hidup di lingkungan yang suka meremehkan. Misalkan orang tuanya atau keluarganya yang seringkali meremehkan orang lain. Jadinya, dia pun belajar mencontoh dan berperilaku seperti itu.
Ketiga, dia tidak punya cara buat merasa pede kecuali dengan cara meremehkan orang lain. Jadi sebenarnya pantas dikasihani. Saya mengenal seorang wanita yang merupakan manager senior di perusahaan. Ia punya pendidikan yang sangat tinggi. Sikap juga begitu, sinis, suka menjatuhkan dan memandang sebelah mata yang posisinya lebih rendah. Rupa-rupanya, di rumah ia punya suami yang selalu sinis dan mengkritik dirinya. Sampai-sampai ia harus menempuh pendidikan tinggi buat membuktikan dirinya. Juga penuh ambisi. Jadi, sikap sinisnya di kantor adalah pelampiasan dari ketidakberdayaan (hopeless) atau untuk menutupi rasa minder yang dirasakan akibat sikap suaminya. Dan kalau kita perhatikan, orang-orang yang suka meremehkan seringkali adalah orang yang punya problem rasa percaya diri ataupun tidak adanya pengakuan yang dia rasakan. Jadi, untuk menutupi kekurangan ini, makanya dia bersikap meremehkan.
Lantas, bagaimana?
Pertama dan terutama, antisipasilah orang seperti ini. Kadang selain bersikap sinis pada yang pendidikannya lebih rendah, ia pun bisa bersikap negatif pada yang lainnya. Jadi antisipasi dan waspadai perilakunya yang suka melihat sesuatu dari kacamata “meremehkan” ini. Kalau kita sudah antisipasi, maka kita nggak akan terlalu tersinggung atau terpengaruh kalau dia mulai bersikap sinis.
Selain itu, bagus juga, kalau Anda telah berusaha mengingatkan dia. Terutama, mulai dengan membalikkan situasi menggunakan hukum emas (Golden Rules). “Kalau kamu nggak mau digituin, jangan gituin orang”. Tanyakan saja, mau nggak sih kalau dia diremehkan seperti itu. Terkadang, dengan terus-menerus ditantang setiap kali dia mulai sinis, lama kelamaan dia mungkin akan merasa terganggu tapi frekuensi dia meremehkan dan bersikap sinis,mungkin akan lebih terkontrol. Salah satunya karena dia merasa kalau dia bersikap begitu, akan ada komentar yang dia terima.
Langkah berikutnya adalah re-edukasi orang seperti ini. Bagaimana caranya? Sederhana! Kalau ada kejadian dimana ia dibantu oleh mereka yang pendidikannya lebih rendah atau yang kemampuannya kurang, sindir dan ajari dia, “Tuh kan. Ternyata yang pendidikannya rendah bisa berguna dan bermanfaat kok”. Atau “Lihat nggak, yang kamu bilang kemampuannya rendah ternyata sanggup menghasilkan yang bagus seperti ini”. Dan jangan lupa ingatkan, “Nggak selamanya yang pendidikannya lebih rendah itu tak bisa apa-apa dan tak berguna”.
Tapi, kalaupun terus-menerus perilakunya nggak membaik. Apa langkah terakhirnya? Di sinilah, kadang ‘shock terapi’ juga diperlukan. Caranya? Situasi dibalik. Setiap kali ia bertindak buruk atau menghasilkan sesuatu yang kualitasnya rendah, kasih shock therapy dalam bentuk sindiran, “Tuh kan, suka meremehkan orang, tapi kamunya sendiri hasilnya begitu”, atau “Katanya pendidikan tinggi tapi kok cuma segitu hasilnya?” Percayalah, kalimat seperti itulah yang akan menyinggung dirinya sebab biasanya itulah alasan ia suka meremehkan orang lain. Nah, kalau ia tersinggung, tinggal ditambahkan, “Kok kamu tersinggung sih? Bukannya kamu juga suka meremehkan dan komentarin orang lain. Ya, jangan tersinggug juga dong kalau kamu yang dibegitukan!”
Well, paling nggak kita perlu belajar soal psikologi orang yang suka meremehkan orang lain ini. Sekali lagi, pada dasarnya, dia sendiri adalah orang yang punya rasa tidak aman yang besar pada dirinya. Ia punya problem pede. Jadi dia punya masalah psikologis. Makanya, ia perlu meremehkan orang lain bukan meninggikan dirinya. Orang yang perlu dikasihani sebenarnya!
Salam Antusias!
Anthony Dio Martin, Motivator, praktisi bisnis, trainer, speaker, ahli psikologi dan juga personal coach, yang oleh media dijuluki “The Best EQ Trainer Indonesia”. Jika Anda memiliki pertanyaan seputar Dunia Kerja atau Sumber Daya Manusia, silakan kirim ke [email protected] atau ke 085797437111.
Untuk informasi mengenai jasa training, seminar serta buku-buku yang ditulis oleh Anthony Dio Martin, silakan hubungi [email protected] atau [email protected] atau dapat telpon langsung ke kantornya HR Excellency serta Miniworkshop Series Indonesia di : 021-3518505 atau 021-3862521.