TEMPUSDEI.ID (2 APRIL 2021)
Oleh Weinata Sairin, Pendeta dan teolog
Jalan derita dan jalan sengsara. Tak seorang pun yang mau memimpikan dan menjadikannya obsesi, apalagi yang sedia untuk menapakinya. Siapa pun akan berupaya menghindarinya, menolak dan menjauhinya. Orang tentu lebih suka menelusuri jalan-jalan yang penuh sukacita, tawa-ria. Ya, sesuatu yang logis; sesuatu yang biasa. Namun, apa yang dilakukan Yesus adalah kebalikannya. Ia justru lebih suka meniti jalan sengsara; Ia lebih siap untuk menempuh jalan salib dalam rangka menyelamatkan manusia.
Alkitab mendeskripsikan dengan amat jelas dan lugas kesengsaraan yang dialami Yesus hingga saat-saat kematian-Nya.
Dari pengungkapan Alkitab, penderitaan dan kematian Yesus di kayu salib bukanlah sesuatu yang tiba-tiba saja terjadi. Jalan sengsara dan jalan kematian adalah sesuatu yang memang menjadi alternatif yang dipilih oleh Yesus sendiri dan bayangan tentang itu sudah sejak awal Ia nyatakan. Itulah sebabnya Yesus menolak dengan tegas ketika murid-murid berusaha mengurung Yesus dalam tenda di gunung kemuliaan (Mat.17:1-13), dan justru turun meninggalkan gunung itu untuk menempuh penderitaan di Yerusalem.
Minum dari Cawan Penderitaan
Beberapa kali para murid diberitahu oleh Yesus bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan meminum cawan penderitaan di kota itu (Mrk.8:31 dst). Ia konsisten dengan misi-Nya, Ia tidak lari dari penderitaan. Ia datang menyongsong bahkan merangkul penderitaan, betapa pun getir dan pahitnya karena Ia memiliki komitmen untuk itu.
Sinisme, hujatan dan cemooh dari banyak orang mewarnai saat Yesus menderita di kayu salib. Mahkota duri ditaruh di atas kepala-Nya, sebatang buluh diletakkan pada tangan kanan-Nya, lalu orang-orang mengejek Yesus, meludahi-Nya dan memukul kepala Yesus dengan buluh (Mat.27:29-30).
Penderitaan dan kesengsaraan Yesus lengkap ketika orang-orang yang lewat di sekitar salib itu mengejek Dia: “Jika Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu! Orang lain Ia selamatkan tetapi diri sendiri tak dapat Ia selamatkan” (Luk.23: 25 dst).
Yesus tak menyerah kalah oleh sinisme, cemooh dan hujatan. Ia tetap tegar dan konsisten. Pilihan-Nya tidak berubah: Jalan kematian mesti ditempuh, supaya manusia dapat merengkuh kehidupan sejati, mengalami perspektif masa depan.
Kematian Riil dan Faktual
Kematian Yesus adalah kematian yang riil dan faktual, bukan maya dan hanya ada dalam dunia ide. Ia merasakan kesepian dan kesendirian ketika berhadapan dengan kematian, sehingga kemanusiaan-Nya mengaduh: “Allah-Ku, Allah-Ku mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat.27:46). Penderitaan dan kematian Yesus menginspirasi beberapa hal kepada kita yang tengah menghidupi kekinian dunia.
Pertama, Yesus mengajarkan bahwa keberpihakan kepada manusia dan komitmen untuk memberi perspektif masa depan baru bagi manusia adalah segala-galanya. Keberpihakan dan komitmen itu tidak berhenti menjadi slogan, jargon dan program, tetapi sesuatu yang riil dan operasional, sesuatu yang bersifat action. Walaupun untuk mewujudkannya kita mesti menderita, harus kehilangan segala-galanya, bahkan kehilangan diri sendiri.
Kedua, Yesus tidak sekadar menjadi guru yang menunjukkan dan mengajarkan sesuatu, tetapi Ia sekaligus menderita dan mempraktikkan apa yang Ia ajarkan itu. Tidak ada ambivalensi dan dikotomi antara perkataan dan tindakan Yesus; artinya keduanya bersifat integral dan menyatu. Apa yang Ia ajarkan, itu juga yang Ia lakukan.
Ketiga, Yesus concern dengan semua umat manusia tanpa mempertimbangkan ke-siapa-an manusia itu, tanpa dibelenggu oleh pemikiran primordialistik. Yesus benar-benar mempraktikkan sikap hidup inklusif di tengah-tengah perjalanan pelayanan-Nya. Kematian-Nya di kayu salib benar-benar terarah bagi semua umat manusia, bukan hanya untuk sekelompok orang.
Sikap inklusif seperti itu harus menjadi nada dasar serta gaya hidup gereja-gereja, bahkan masyarakat dan bangsa di dalam masyarakat majemuk Indonesia. Dalam semangat inklusif itulah kita berjuang terus membangun rumah besar Indonesia yang di dalamnya semua orang dari berbagai suku, agama, etnik dan golongan dapat tinggal bersama dengan penuh persaudaraan dan saling menghargai, tanpa rasa takut, curiga dan was-was.
Tatkala Gereja merayakan Hari Jumat Agung-Hari Kematian Yesus di kayu salib, kesengsaraan Yesus harus menjadi model bagi Gereja dan kekristenan di Indonesia untuk menampilkan dirinya.
Tindakan Yesus yang menempuh jalan salib-bukan jalan revolusi, jalan kekuasaan, atau jalan apa pun menjadi sumber inspirasi bagi Gereja dalam menolong mereka yang terpapar virus, mereka yang makin miskin dan melarat terdampak virus, mencari solusi melawan terorisme global, merawat mereka yang luka dan depresi dihantam turbulensi kehidupan, menjaga dan membangun rumah besar Indonesia tanpa jemu dan lelah.
Yesus Kristus telah bersedia mati agar kita hidup mencipta keadaban baru.
Selamat Hari Jumat Agung.
Tuhan memberkati.