Wed. Oct 30th, 2024
Romo John Kota Sando dari Merauke

TEMPUSDEI.ID (25 April 2021)

Oleh Romo John Kota Sando

 

Konon pujangga besar Inggris William Shakespeare tampil membacakan sebuah puisi religius di sebuah auditorium (panggung pertunjukkan). Puisi itu diambil dari Mazmur 23 yang berjudul “Tuhanlah Gembalaku”. Saat puisi itu dibacakan, para penonton berdecak kagum. Tepuk tangan yang panjang mengiringi William Shakespeare ketika ia selesai membaca puisi itu.

Tak lama kemudian terjadi sesuatu yang tidak biasa dan sangat mengejutkan. Tiba-tiba dari barisan para penonton muncul seorang lelaki tua yang berpenampilan sangat sederhana maju dan ingin membaca puisi yang sama. Ia diizinkan untuk membaca puisi itu. Terasa ada suasana yang sangat berbeda ketika puisi tersebut dibacakan oleh lelaki tua itu. Mereka tidak bertepuk tangan, tetapi tertunduk merenung bahkan tidak sedikit yang meneteskan air mata.

Begitu turun dari panggung, William Shakespeare memeluk laki-laki tua itu sambil berkata: “Anda luar biasa. Semua orang tahu bahwa saya adalah seorang penyair besar, tetapi saya belum pernah membuat orang tertunduk merenung bahkan meneteskan air mata saat saya membacakan sebuah puisi. Bolehkah saya tahu mengapa hal itu bisa terjadi?”. Laki-laki tua itupun menjawab: “Karena saya mengenal dengan baik siapa itu Gembala yang dimaksudkan dalam Mazmur 23, bahkan Ia hidup dan tinggal di hati saya”.

Hanya Bibir

Cerita ilustrasi tersebut merefleksikan kepada kita bahwa seringkali bibir kita begitu bagus memuliakan Tuhan, tetapi kenyataannya hati kita sangat jauh daripada-Nya. Kita mewartakan Allah yang hidup kepada orang lain, tetapi Allah sendiri tidak pernah hidup di  dalam diri kita.

Para Uskup dan Imam menyebut diri mereka sebagai gembala umat, tetapi dalam banyak hal umat (domba) gembalaannya itu ditelantarkan sampai mereka kehausan dan kelaparan secara rohani dan jasmani. Banyak anak yang terlantar hidup dan masa depannya, karena para orang tua tidak berperan sebagai gembala yang baik dalam keluarga. Para pejabat pemerintahan tidak menjadi gembala yang baik bagi rakyatnya, sehingga banyak rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan atau jauh dari hidup sejahtera.

Agar kita menjadi gembala yang baik melalui status, tugas dan jabatan kita, maka Yesus yang kita imani itu harus menjadi contoh dalam hal bagaimana kita menjadi seorang gembala yang baik.

Kisah Para Rasul 4:8-12 menyebut Yesus sebagai batu penjuru. Batu penjuru adalah batu pertama yang diletakkan dalam fondasi sebuah bangunan. Segala jenis batu merujuk kepada batu penjuru tersebut, sehingga dapat menentukan posisi yang benar dan kuat dari struktur bangunan itu. Yesus sebagai Batu Penjuru sangat menentukan kuat tidaknya bangunan diri dan kehidupan kita.

Sering kali bangunan diri dan kehidupan kita menjadi mudah runtuh dan hancur berantakkan karena kita memilih batu penjuru yang lain, bukan Yesus Sang Batu Penjuru sejati. Kegembalaan Yesus menjadi nampak ketika Ia sendiri menjadi batu penjuru dari bangunan diri dan kehidupan kita. Belajar dari Yesus, kitapun juga dapat menjadi batu penjuru dari bangunan persaudaraan dan kebersamaan kita dengan orang lain.

I Yohanes 3:1-2 menggambarkan kepada kita bahwa Yesus sebagai “Gembala yang mengorbankan nyawa bagi domba-domba-Nya telah mengangkat martabat kita sebagai anak-anak Allah. Kita juga dapat mengangkat orang lain dari keterpurukan hidup, jika semangat kegembalaan Yesus itu ada di dalam diri kita. Kita dapat membahagiakan orang lain lewat perbuatan baik kita, jika kita memiliki hati seperti hati Sang Gembala Agung Yesus Kristus.

Injil Yohabes10:11-18 merefleksikan kepada kita bahwa tugas dari seorang gembala adalah membimbing, melindungi, menyembuhkan, meneguhkan dan membawa kedamaian dan kesejukan.Yesus telah memberi contoh diri-Nya sebagai Gembala yang baik yang memberikan nyawa-Nya bagi domba-dombaNya dan yang mengenal domba-domba-Nya dengan baik.

Kita perlu belajar dari Yesus sebagai Gembala yang baik, agar kita jangan sampai menjadi orang yang pura-pura melindungi, tetapi sebenarnya merusak. Berpura-pura menjaga dan memelihara, tetapi sebenarnya menelantarkan. Berpura-pura memberi makan, tetapi mengisi racun di dalamnya. Berpura-pura baik, tetapi menusuk dari belakang. Seolah-olah membimbing, tetapi membawa kepada kesesatan. Seolah-olah bermulut manis, tetapi sebenarnya mengkhianati. Berpura-pura mau menyembuhkan, tetapi sebenarnya mau mematikan. Berpura-pura meneguhkan, tetapi sebenarnya mau menjatuhkan – masih banyak hal lain lagi yang kita buat yang  menggambar bahwa kita sebetulnya adalah “pencuri”,  bukan sebagai gembala.

Melalui Mazmur 23 kita memiliki gambaran yang jelas tentang Allah sebagai Gembala yang baik yang membuat kita merasa nyaman dan bahagia di bawah perlindungan dan pemeliharaanNya. Ia tidak pernah membuat kita kekurangan sedikitpun. Seperti domba, Ia membaringkan kita di padang rumput yang hijau, membimbing kita ke air yang tenang dan menuntun kita ke jalan yang lurus.

Jadilah seperti lelaki tua dalam cerita ilustrasi tadi, yang tidak saja mengenal Gembala itu, tetapi membiarkanNya hidup dan tinggal dalam dirinya. Jika kita mengenal dengan baik Tuhan Sang Gembala itu, maka sebetulnya tak ada yang perlu kita takutkan dan cemaskan dalam hidup ini. Ia telah memberikan segala-galanya kepada kita demi kebahagiaan kita. Kita harus mengimani dan menghayati Sabda Yesus ini sebagaimana dikatakan dalam Injil Yohanes 10:11: “Akulah Gembala yang baik yang memberikan nyawaNya bagi domba-dombaNya”. Amin. Salve dan Berkat Tuhan.

Related Post

Leave a Reply