TEMPUSDEI.ID (28 APRIL 2021)
Oleh Veronica Um Kusrini, Alumna Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Guru pada SMP Strada, Bekasi
Untuk Indonesia, ingat puisi berarti ingat Chairil Anwar, si Binatang Jalang. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922 ini tak bisa dipungkiri telah berhasil memberi warna yang tegas pada jagad puisi Indonesia. Dalam usianya yang relatif singkat, 26 tahun, Chairil Anwar berhasil melahirkan sajak-sajak yang tidak biasa pada zamannya.
Sepenggal liriknya yang melegenda itu adalah Aku mau hidup seribu tahun lagi dalam sajak berjudul “Aku”. Sajak itu ditulis pada saat Chairil Anwar berusia 20 tahun. Enam tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 April 1949 dia wafat, tentu tidak dengan karya-karyanya.
Puisi-puisi Chairil Anwar masih sering menjadi bahan diskusi hangat di antara para penikmat dan pecandu puisi. Seluk beluk tentang diri dan karyanya masih menjadi pembicaraan banyak kalangan yang mencintai puisi.
Pada situasi saat ini, ada satu hal yang cukup menarik jika membaca sajak dalam puisi berjudul “Aku”, apalagi jika dikaitkan dengan pandemi yang menimpa hampir seluruh belahan dunia. Kita semua bisa melihat pada batang dan bagan statistik berapa jumlah kasus dan kematian akibat pandemi ini.
Ya, berbicara tentang kematian, mungkin kita bisa sedikit menengok tentang puisi yang ditulisnya pada tahun yang sama dengan kematiannya, yaitu “Yang Terampas dan Yang Putus.” Dalam sajak itu, kita menemukan beberapa larik yang bisa saja dimaknai sebagai sebuah akhir dari perjalanan hidup seseorang.
Larik terakhir dalam puisi “tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku” tampaknya cukup dekat dengan situasi yang saat ini sedang kita alami. Bagaimana setiap dari kita ingin sekali mempunyai semangat untuk hidup lebih lama lagi dengan menjaga segala protokol kesehatan yang sudah ditetapkan, tetapi ada kalanya, bagi mereka yang “beruntung” diberi kesempatan dan kepercayaan terkena Covid, seolah tetap saja tak berdaya saat menghadapi situasi yang saat ini berkembang.
Larik “tubuhku diam dan sendiri,” seolah ingin menceritakan sebuah situasi tak berdaya melawan makhluk tak kasat mata ini. Meskipun situasi saat ini cukup sulit, namun untuk kesekian kalinya, sajak Chairil Anwar masih tetap relevan.
Mari kita lihat puisi berjudul “Doa”. Dalam puisi ini Chairil Anwar sungguh mengajak kita untuk selalu menyebut nama Tuhan: “Aku masih menyebut nama-Mu.” Meskipun dalam situasi yang sungguh susah, kita diajak untuk mengingat Dia yang berkuasa atas segala ciptaan “/Biar susah sungguh//mengingat Kau penuh seluruh/.”
Hal ini semakin membuktikan bahwa apa yang dikatakan Sapardi Djoko Damono tentang Chairil Anwar adalah benar adanya. Kata Sapardi, sebagian sajak Chairil Anwar mungkin sekali sudah merupakan masa lampau, yang tidak cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajaknya yang terbaik mungkin menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga pada, bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan tinggi.
Sebagai bangsa kita patut bangga mempunyai seorang Chairil Anwar. Berisitirahah dalam damai sejati. Doakan kami yang saat ini sedang berperang melawan pandemi. Biarkan semangatmu dalam sajak-sajakmu menjadi api bagi kami untuk “hidup” seribu tahun lagi.
Selamat hari puisi Nasional