TEMPUSDEI.ID (9 MEI 2021)
Oleh Romo John Kota Sando
Pada sebuah kesempatan, Bunda Teresa dari Cacutta mengatakan, “Jika anda ingin membahagiakan orang lain, maka cintailah dan berilah sampai sakit”. Mungkin ungkapan ini sulit dipahami dari sudut logika berpikir kita. Tetapi ungkapan ini akan dimengerti dengan sendirinya, ketika cinta itu berbicara dalam pengalaman konkret kehidupan kita.
Mencintai sampai sakit berarti berkorban demi kebahagiaan orang lain. Cinta tanpa pengorbanan adalah sebuah kemustahilan. Solidaritas tanpa keikhlasan adalah juga sebuah kebohongan. Jika kita tidak rela untuk bersikap rendah hati, maka kita akan sulit untuk memaafkan. Jika kita ingin memberi, lakukanlah itu dengan tulus, walaupun yang kita beri itu juga sangat kita butuhkan.
Jika kita ingin melayani dengan ikhlas, kita harus mengorbankan waktu dan tenaga bahkan keluarga kita yang seharusnya juga membutuhkan perhatian kita. Itulah yang dimaksud dengan mencintai dan memberi sampai sakit.
Pengorbanan menumbuhkan cinta dan penderitaan melahirkan kebahagiaan. Tiada cinta tanpa pengorbanan, tiada kebahagiaan tanpa derita dan tiada sukses tanpa kerja keras adalah hukum alam. Tidak ada cinta, kebahagiaan dan sukses yang lahir dengan sendirinya. Mereka bertumbuh dalam pergulatan jiwa yang berat dan dalam pahit-getirnya kehidupan ini. Namun itulah yang menghasilkan kebahagiaan. Maka benarlah kalau orang mengatakan bahwa hanya ada satu kebahagiaan dalam hidup ini, yakni mencintai dan dicintai.
Manusia hanya dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik, mengalami hidup damai, karena cinta yang ia terima dan karena cinta yang ia beri. Cinta merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Maka tidak ada manusia di dunia ini yang dapat hidup tanpa cinta.
Ada ungkapan lain yang mengatakan: Cinta itu semakin dicari, maka akan semakin sulit untuk ditemukan. Mengapa? Karena cinta itu ada di lubuk hati kita, ada di dalam keseharian kita, ada di dalam kesederhanaan, ada di dalam kejujuran dan kesahajaan, dan ada di dalam pergumulan hidup dan penderitaan kita.
Ketika kita mengharapkan atau menginginkan sesuatu yang lebih dari cinta, maka yang kita dapatkan adalah kehampaan. Mengapa? Karena cinta itu dengan segala keagungan dan kekayaannya selalu ada di depan mata kita. Tak perlu kita mendaki bukit atau menyeberangi lautan untuk mencari cinta, karena cinta itu sesungguhnya ada di dalam nurani dan pengalaman harian hidup kita. Jika seorang suami ingin mencari cinta, maka carilah ia pada air mata istrimu yang sering tumpah karena sikap kasar dan egoismu.
Jika seorang istri ingin mencari cinta, lihatlah kerja keras suamimu, yang barangkali terpaksa harus menyembunyikan sakit dan kelelahannya demi membahagiakan dirimu dan anak-anakmu. Jika anak-anak ingin mencari cinta, lihatlah kedua orang tuamu yang bekerja keras dan mengorbankan segalanya demi kebahagiaan masa depanmu. Jika seorang pejabat pemerintahan dan wakil rakyat ingin mencari cinta, temukanlah itu dalam jerit tangis penderitaan rakyatmu yang hidup di bawah garis kemiskinan atau yang kecewa karena menyaksikan dirimu memakan uang mereka.
Jika seorang gembala umat ingin mencari cinta, jangan mengukur umatmu dengan uang, lihat kekeringan iman mereka karena jarang disapa dan dikunjungi, lihat kekecewaan mereka karena sikapmu yang tidak ramah dan otoriter.
Tuhan ingin kita hidup dan tinggal di dalam cinta atau kasih. Dan pesan ini disampaikan oleh Yesus sendiri dalam bacaan Injil: “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasihKu itu” (Yoh.15:9). Kisah Para Rasul, mengingatkan kita bahwa hidup dan tinggal di dalam kasih berarti memandang orang lain sebagai saudara dan sahabat tanpa membedakan suku, agama dan ras, karena Allah sendiri tidak pernah sedikitpun membeda-bedakan orang: “Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Allah dan mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya” (Kis.10:35). Dan dari surat pertama Rasul Yohanes, kita mendapatkan pendasaran dan alasan yang kuat mengapa kita harus hidup dan tinggal di dalam kasih, karena Allah yang kita imani adalah kasih itu sendiri: “Barang siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (IYoh.4:8).
Dengan kasih atau cinta, kita akan dapat membahagiakan orang lain dan diri kita sendiri. Hidup kita menjadi indah dan bermakna, bukan karena berapa banyak orang yang kita kenal atau yang mengenal kita, tetapi karena berapa banyak orang yang berbahagia karena kita. Orang yang mendapatkan kebahagiaan sejati adalah orang yang dapat membahagiakan orang lain. Ketika kita berusaha untuk membahagiakan orang lain, kitapun akan bahagia.
Jika kita menyengsarakan orang lain, sebetulnya secara tidak sadar, kita juga menyengsarakan diri kita sendiri. Manusia selalu dikenang dengan apa yang ia berikan daripada yang ia terima sepanjang hidup. Semakin banyak kontribusi positif yang kita berikan kepada sesama, semakin besar pula berkat Tuhan yang kita dapatkan.
Oleh karena itu marilah kita bertumbuh dalam cinta dan hidup dalam kasih, agar diri kita menjadi berkat bagi orang lain dan bagi diri kita sendiri. Bunda Teresa dari Calcutta mengatakan: “Pakailah bibirmu untuk mewartakan kebaikan, hatimu untuk mengasihi dan tanganmu untuk melayani”. A M I N.
Salve dan Berkat Tuhan dari Merauke