TEMPUSDEI.ID (11 MEI 2021)
Predikat sebagai tuna rungu dan pengidap Sindrom Asperger tidak mampu mengungkung Anfield. Sampai pada usia 16 tahun dia sudah menghasilkan 1.600 lukisan dan setidaknya sudah 25 kali melakukan pameran. Hebat!
Bagaimana sikap kita ketika memiliki anak berkebutuhan khusus? Apakah harus malu, lalu mengasingkan sang anak dari pergaulan? Jawabannya, tidak! Anak itu tetaplah anak kita, bagaimana pun keadaannya. Betapa pun dia memiliki keterbatasan, dia tetap memiliki keunggulan yang patut dikembangkan. Memang untuk ini dibutuhkan usaha dan semangat ekstra, dan tidak bisa tidak, harus dilakukan.
Anfield Wibowo yang saat ini berumur 16 tahun beruntung memiliki orang tua yang sejak awal menyadari bahwa keterbatasan yang anak mereka alami bukanlah aib yang harus ditangisi, sebaliknya berikhtiar melakukan hal terbaik agar Anfield tetap berkembang dengan baik dalam keterbatasannya.
Ketika berusia 9 bulan, Anfield terkonfirmasi sebagai tunarungu setelah menjalani pemeriksaan ahli THT. Lalu pada umur 9 tahun Anfield juga terkonfirmasi mengindap Sindrom Asperger. Orang yang mengidap sindrom canggung terlibat dalam hubungan sosial.
Seperti dijelaskan ayah Anfield, Doni Mardonius dan Veronica istrinya sudah menaruh curiga ketika melihat motorik buah hati mereka itu kurang bagus. Karena itu, saat dia berusia 8 bulanan mereka membawanya dokter. Sang dokter menyarankan untuk dibawa ke dokter ahli THT. Ternyata dokter THT memvonis tuli. Tidak percaya begitu saja, Doni dan Vera mendatangi dua dokter yang berbeda. Hasilnya sama, yaitu Anfield mengalami kerusakan saraf pendengaran dalam stadium berat dan tidak dapat diperbaiki. Tidak ada cara medis untuk menyembuhkan.
Agar Anfield Tidak Menderita
Menghadapi kenyataan ini, Doni dan istri sempat down, namun secara perlahan mereka menerima keadaan buah hati kelahiran Jakarta, 19 November 2004 itu. Mereka pun segera sadar dan tidak mau larut dalam kesedihan. “Jika kami lemah, Anfield akan menderita. Itulah ‘kesepakatan’ kami dan juga tentu nasihat dan dukungan keluarga besar sangat menguatkan kami,” jelas Doni.
Dokter meminta keluarga menerima kekhususan Anfield dengan tulus sambil menyarankan untuk memberikan “pendidikan prilaku” dan berfokus pada kelebihan atau minat Anfield.
Mereka memutuskan untuk menyekolahkan Anfield ke sekolah SLB B dan memperkenalkan kepadanya kehidupan sosial yang sebenarnya. “Kami tidak sungkan atau malu membawa Anfield ke mana saja. Karena anak tuli akan belajar dengan mata. Dengan dia melihat dunia luar yang luas dan beragam, maka itu menjadi bekalnya untuk tumbuh,” ungkap Doni lagi.
Hal lain yang keluarga lakukan adalah selalu mendoakan agar Anfield dijauhkan dari hal-hal buruk dalam pertumbuhannya. “Tiap malam kami berdoa hanya minta Tuhan membimbing dia dan menjauhkan dari hal-hal buruk. Kami juga mohon bimbingan Tuhan agar kami bijak, sabar dan telaten membimbing Anfield,” jelas Doni lebih lanjut.
Dari pencarian demi pencarian, Doni dan istri menyimpulkan bahwa pola didik yang cocok untuk Anfield adalah yang bersifat visual. “Dari visual itu mengarahkan kami ke seni rupa, dalam hal ini menggambar. Pertama kali dia menarik garis, terlihat dia sangat percaya diri, tidak ragu dalam menarik garis,” ujar Doni menjelaskan.
Sementara itu, mainan mobil-mobilan dan robot yang dibelikan, tidak begitu Anfield pedulikan. Anfield lebih suka bermain dengan alat tulis dan puzzle. “Dia sangat bagus dalam hal visual, warna dan bentuk. Bahkan di atas rata-rata setelah kami bawa dia tes minat atau tes bakat,” tambah Doni lagi.
Konsisten dan Belajar Mendidik
Doni dan Vera adalah tipe orang tua yang konsisten dan mau belajar dalam mendidik anak. Mereka sangat mendukung minat Anfield. Mereka juga berusaha membaca berbagai sumber pengetahuan agar bisa mendampingi Anfield dengan baik dan benar. Mereka mencari tahu pengaruh seni rupa bagi anak seperti Anfield, dan bagaimana caranya mendidik anak dengan seni rupa. Mereka kemudian tahu bahwa dampak seni rupa itu sangat besar bagi pertumbuhan dan pembentukan karakter anak.
Saat Balita, untuk melukis, Anfield memakai pensil, krayon lalu cat poster dengan media kertas. Sesuai dengan ilmu yang mereka pelajari, mereka menerapkan 3B (Bebas, Bermain, Bergembira) dan ternyata dengan 3B Anfield dapat leluasa mengeksplore bakat dan minatnya.
Dia tidak terpengaruh orang tua atau guru gambar di sekolahnya. Dia begitu menikmati seni rupa dibanding aktifitas fisik. Dengan seni dia bernarasi tentang keinginannya, tentang imajinasi, tempat dia menuangkan emosi serta menuangkan visi dan misinya. “Kami orang tua hanya memfasilitasi dan mengapresiasi saja dengan memberi Jempol,” ujar Doni lagi.
Setelah dengan media kertas, saat usia 7 tahun Anfield mulai menggunakan kanvas. Baik di kertas maupun di kanvas tidak sulit bagi dia untuk berkarya. Karena dia melakukan dengan senang hati, bebas dan gembira, tanpa beban. Kanvas bagaikan taman bermainnya.
Mengejutkan Guru
Pada usia 7 tahun itu juga Anfield masuk ke sanggar lukis anak dan berkenalan dengan kanvas dan cat akrilik. Lukisan pertamanya adalah keluarga gajah. Gambar atau sketsa gajah di kanvas saat itu mengejutkan guru lukisnya. Shasilnya sempurna untuk ukuran anak usia 7 tahun. Gurunya melihat Anfield memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Anfield membuat sketsa gajah dengan kuas dan cat akrilik, tanpa salah dan sekali gores. Karena karakter Anfield yang demikian, gurunya menyarankan keduan orang tuanya untuk memberi kuas yang besar agar dia bisa langsung melukis, tidak dengan membuat sketsa. Ternyata, dengan menggunakan kuas yang besar, Anfield benar-benar mengeksplore bakatnya.
Sejak itu, dengan cepat Anfield menunjukkan bakat yang luar biasa. Dia belajar melalui mata dan hati. Gurunya hanya memberi jempol dan semangat.
Naluri Seni
Setelah dua tahun di sanggar, Anfield belajar sendiri dengan naluri seninya. Dengan kebebasnnya dia melukis berbagai genre: abstrak, realis, surealis, naturalis, expresif. Dia bisa melukis dengan cepat. Dalam dua jam dia bisa selesaikan gambarnya. Tidak mengheranka n, hingga kini, dia sudah menghasilkan sekitar 1.600 lukisan.
Dengan seni dia menjadi percaya diri dan tidak minder. Dengan seni pula dia bisa bernarasi atau bercerita. Dengan seni dia semakin mandiri, berani mencoba, berani berkreasi. Seni menjadi semacam katarsisnya terutama saat masa pandemi ini.
Lantas, mana karya Anfield yang tergolong master piece sejauh ini? “Bagi keluarga semua lukisan Anfield adalah Master piece,” kata Doni. Tapi kalau dikatakan yang paling berkesan lanjut Doni lagi, adalah lukisan berjudul “Bleak Rainy November” yang Anfeld buat saat berumur 8 tahun. Lukisan ini bercorak abstrak ekspresif, bercerita tentang kekhawatiran dia terhadap cuaca yang segera hujan. Ada juga lukisan berjudul “Kardinal Suharyo” yang ia buat saat Kardinal memperingati ulang tahun imamat yang ke-45 (2021).
Sampai saat ini, berbagai kalangan mengoleksi lukisan Anfiled. Hasil penjualan karyanya selain untuk amal, juga ditabung untuk masa depan Anfiled dan membeli berbagai kebutuhannya untuk melukis.
Yang menarik, keluarga tidak “aji mumpung”. Mereka berusaha menjaga kemurnian Anfield dalam berkarya. Karenanya mereka tidak gencar mempromosikan Anfield dengan tujuan agar SLB B Pangudi Luhur, Puri Kembangan Jakarta itu tidak terpengaruh pasar atau selera pasar. “Biarlah dia berkembang dengan apa adanya. Mengalir saja,” pungkas Doni. (EDL)
Pameran TUNGGAL :
1. “Imajinasi Tanpa Batas” Juli 2013, Galeri Cipta 3, TIM, Jakarta.
2. “My Faith” Desember 2014, Galeri 678, Kemang, Jakarta.
3. “Rentang Masa” Februari 2017, Galeri Cipta 3, TIM
4. “Amazing World” September 2018, Balai Budaya, Jakarta.
Pameran BERSAMA :
1. ” Lukisan untuk Mereka” Juli 2012, Tebet, Jakarta
2. “Ancol Art Festival” Oktober 2012, Pasar Seni Ancol, Jakarta.
3. “Pazaar Seni, September 2013, Taman Raden Saleh, Semarang.
4. “Ken Dedes” Januari 2014, Lobby Teater Kecil TIM, Jakarta
5. “Charity Night, Ayo Sekolah” Januari 2015, Kuningan, Jakarta.
6. “Pesta Seni Rupa Indonesia” Desember 2015, TIM, Jakarta.
7. “Festival GAC” Oktober 2016. Ciputra Artpreneur, Jakarta.
8. “Merintis Jejaring Art Burt Indonesia”, 17-20 Mei 2017, Gedung Kemendikbud Pusat, Jakarta.
9. “BPMI”. Juli 2017, Pendopho ArtSpace, Yogyakarta
10. “Diskusi dan Pameran Art Burt”, Desember 2017, Bentara Budaya Kompas Gramedia, Jakarta
11. “Solidarity, Peace and Justice”, Januari 2018, Balai Budaya, Jakarta.
12. “Art on The Spot”, Januari 2018, Kunskring Palais, Jakarta.
13. “Love Never Fails”, Februari 2018, Galeri Hadiprana, Jakarta.
14. “PostFest Exhibition”, Galeri Cipta 3, TIM, Juli 2018.
15. “Festival Bebas Batas” Galleri Nasional, Jakarta, Oktober 2018.
16.”Semesta Kita” Januari 2019, Bentara Budaya Bali.
17. “Warna Warni Duniaku” Juli 2019, Bentara Budaya Jakarta.
18. “Main” Festival Seni Rupa Anak Indonesia, Juli-Agustus 2019, Galeri Nasional, Jakarta.
19. “ART DAY LIFE” Agustus 2019, Plaza Indonesia Lt 2, Jakarta.
20. “POST FEST 2019”, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Agustus 2019.
21. “OutSider Artpreneur” Sept 2019, di Ciputra Artpreneur, Jakarta.
22.”Disabilitas Dalam Warna” Oktober 2019, di Green Pramuka Square, Jakarta.
23. “Wajah Indonesia” dalam acara Pekan Kebudayaan Nasional, oktober 2019 di Istora Senayan, Jakarta.
24.”Festival Bebas Batas 2019″ November 2019, PEndopo ISI Surakarta.
25. “Peace And Chaos” Pameran Virtual, 2020.