TEMPUSDEI.ID (11 MEI 2021)
Oleh Melani, mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Tidak pernah sedikitpun terlintas di pikiranku untuk tinggal di kota ini. Bahkan nama kota yang berada di bagian tengah pulau Kalimantan ini, mungkin tidak akan pernah kukenal, lihat, atau dengar jika bukan karena suamiku.
Aku adalah seorang guru honor yang mengajar di SD Kabanjahe, terletak di Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Dan suamiku adalah pegawai Dinas Sosial di Palangkaraya. Sejak muda suamiku sudah merantau ke tanah Dayak, ia menyelesaikan pendidikan Strata-1 di Universitas Palangkaraya dan bekerja di sana. Semasa kuliah, sudah jadi kebiasaan baginya pulang ke tanah Karo setiap tahun untuk merayakan Natal bersama keluarga, dan di sanalah kami bertemu. Selama tujuh tahun, kami menjalani hubungan jarak jauh. Namun, setelah menyelesaikan pendidikan dan mapan secara finansial suamiku datang ke Kabanjahe untuk menikahiku.
Pada pertengahan tahun 2000, setahun setelah pernikahan, suamiku membawaku pindah ke tanah Dayak. Untuk sementara, kami tinggal di rumah dinas. Malam menjadi sangat sepi, hanya ditemani suara jangkrik yang melengking nyaring dan nyanyian burung yang tak tahu dari mana datangnya. Kali ini menjadi seram karena pikiranku sedang membayangkan rumah ini berada di tengah hutan dan dipantau oleh banyak mata binatang. Hal demikian cukup sering aku alami awal datang ke sini.
Ada seorang wanita paruh baya. Setiap sore dia sibuk memotong rumput di halaman rumahnya atau sekadar menyapu daun-daun yang jatuh. Aku memanggilnya Tambi Lita. Beliau sudah kuanggap seperti orang tua sendiri di tanah rantau karena rumah yang bersebelahan dan selalu membantu merawatku yang saat itu sedang hamil. Aku bersyukur semasa hamil, pembawaannya tidak aneh-aneh. Hanya saja aku mudah merasa lelah dan perlu bantuan orang lain. Jadi, Tambi sering masakiku makanan berkuah dengan sayur dan ikan menjadi campurannya, atau yang biasa Tambi sebut juhu. Bagiku juhu terlihat seperti jamu karena kuahnya yang berwarna kuning pekat, ditambahi dengan jahe, lengkuas, serai, dan bumbu-bumbu yang aku tidak tahu apa. Rasa kuah juhu gurih dan kaldu ikan membuat kuahnya lebih nikmat. Walaupun awalnya tidak terbiasa dengan juhu, tapi lama-kelaman aku mulai menyukai juhu.
Kandunganku sudah berusia tujuh bulan, keadaan fisikku juga makin membaik. Sehingga, aku merasa gagah untuk pergi ke pasar sendirian pagi itu. Jarak rumah dan pasar yang lumayan jauh, mengharuskan aku berangkat menggunakan motor. Aku tiba, lalu memarkir motor. Seperti biasa, keadaan pasar ramai. Aku menjelajahi lapak satu ke lapak lainnya untuk melihat-lihat bahan makan yang hendak dibeli. Para penjual terdengar balap-balapan meneriakkan barang dagangannya.
“Yooo, iwak haruan, lais, pantik, tapah, tahuman. Masih sigar hanyar datang,” teriak penjual ikan, dengan bahasa Banjar menawarkan dagangannya.
Di selatan pasar, orang-orang berkerumun mengelilingi penjual daging babi yang tengah menimbang daging merah yang berlemak itu. Tidak sulit menemukan daging babi di kota ini. Dari arah berlawanan terdengar teriakan lain. Kedengarannya bukan teriak menawarkan barang dagangan, tetapi teriakan yang lengking dan keras. Aku yang bingung melihat ke arah teriakan tersebut. Orang-orang pada berlarian menjauhi tempat itu seraya berteriak seperti memperingati.
“Kayau… kayau!”
Pada saat yang bersamaan aku mendengar suara lain yang aneh. Suara yang dibunyikan oleh sekelompok pria dengan ikat kain merah di kepalanya, tangan kanannya memegang mandau, dan kumpang yang diikatkan di pinggang. Matanya melihat segala sesuatu yang ada di pasar dengan awas dan liar.
“Lo…lololololo…loo….” Suara itu keluar dari mulut salah seorang dari mereka, kedengaran nyaring, berani, dan makin meninggi pada akhir teriakannya.
“Ouuu!” Serentak pria lainnya membalas suara tersebut.
Pasar yang tadinya ramai karena jual beli menjelma menjadi mimpi buruk, gelap, kelam, dan menakutkan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, aku hanya ikut berlari karena melihat orang-orang berlarian. Tapi langkahku terhenti, karena tepat di depan mataku, pria yang mengenakan kain merah di kepala mengayunkan mandau ke leher salah satu pedagang yang ada di pasar. Kepalanya terlepas dari tubuh. Terpenggal. Tubuh pedagang itu tergeletak di tanah, dari leher yang buntung mengalir cairan segar pekat berwarna merah, deras seperti arus sungai. Dada pedagang itu di belah dengan mandau tanpa ragu, seperti membelah perut ikan. Pria itu meraup hati pedagang tersebut, lalu melahapnya nikmat. Kemudian, ia pergi menenteng kepala di kiri dan memegang mandau di tangan kanan. Sambil meneriakkan suara yang sebelumnya kudengar.
Pusing. Mual. Lemas. Aku tidak kuat melangkah, kakiku terasa membatu. Rasanya pasar sedang mengelilingi kepala, pandanganku kabur perlahan menjadi gelap. Semua yang ada di hadapanku lenyap. Tapi peristiwa itu terekam jelas dalam ingatanku sampai hari ini.
18 Februari 2001 perang antaretnis, suku Madura dan suku Dayak terjadi di kota Sampit. Perang tidak hanya terjadi di Sampit, tetapi juga merambat ke seluruh daerah yang ada di Kalimantan Tengah, termasuk kota Palangkaraya. Sebelum melakukan perang, para pria Dayak melaksanakan ritual pemanggilan roh leluhur. Berdasarkan kesaksian Toto (nama disamarkan) pria Dayak yang ikut terlibat dalam Perang Sampit mengatakan setelah melaksanakan ritual dia dapat membedakan Dayak dan Madura. Secara spontan naluri membunuh meningkat ketika merasakan keberadaan suku Madura dan melewatkan orang-orang non-Madura. Karena bukan manusia lagi yang berperang, tetapi roh leluhur yang ada dalam tubuhnya. *
Cerpen dengan memakai salah satu sejarah sebagai bumbu masalah dalam penulisan, walau sebenarnya akhir cerita malah menggantung untuk tokoh aku jadi bisa menimbulkan berbagai perspektif ending yang beragam, (berlawanan dengan kemauan penulis)