Fri. Nov 22nd, 2024
Romo John Kota Sando, Pr

Oleh Romo John Kota Sando, Pr

 

TEMPUSDEI.ID (23 MEI 2021)

Di antara “Peristiwa Menara Babel” dan “Peristiwa Pentakosta” terdapat perbedaan yang sangat jauh dan mendasar soal bahasa. Tentu bahasa yang dimaksud di sini bukanlah bahasa percakapan sehari-hari, tetapi bahasa yang keluar dari jiwa dan hati seseorang.

Orang-orang yang membangun Menara Babel menggunakan bahasa yang satu dan sama, tetapi mereka tidak mengerti dan memahami satu sama lainnya. Akhirnya mereka gagal membangun menara itu. Berbeda dengan peristiwa Pentakosta. Kisah Para Rasul 2:1-11 melukiskan bahwa orang-orang yang dipenuhi Roh Kudus itu berbicara tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan oleh Allah dalam bahasa mereka masing-masing, tetapi mereka saling mengerti dan memahami. Alasannya adalah karena bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa kasih yang membuat mereka berada pada satu pemahaman dan pengertian.

Sementara bahasa yang digunakan dalam pembangunan Menara Babel adalah bahasa egoisme dan bahasa kesombongan yang membuat pikiran dan hati mereka menjadi tumpul, bodoh dan kacau. Dengan ini mau dikatakan bahwa bahasa kasih mempersatukan siapa saja, membuat orang saling menerima dan memberi, saling menyejukkan hati,  saling mengerti dan memahami.

Kasih itu menciptakan dan membangun persaudaraan, kekeluargaan dan kebersamaan, walaupun setiap orang memiliki perbedaan dan keunikannya masing-masing. Sedangkan bahasa egoisme dan bahasa kesombongan selalu mengarah kepada perpecahan, kemarahan, dendam,  permusuhan, kekerasan, nafsu membunuh, tidak saling menghargai dan menghormati, dan membangkitkan sikap intoleran dalam hidup beragama.

Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Galatia (Gal.5:16-25) memberikan sebuah pencerahan, agar jangan sampai nafsu kedagingan manusiawi kita  memadamkan api Roh Kudus yang juga adalah api kasih yang bernyala dalam hati kita. Rasul Paulus mengingatkan kita,  agar pohoh kasih yang tertanam di dalam hati kita itu sungguh kita pelihara dengan baik  dan membuatnya selalu subur, sehingga menghasilkan buah-buah Roh yang menghidupkan, yakni kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan hati, kebaikan, kesetiaan, sikap lemah lembut, penguasaan diri, dan lain sebagainya (Gal.5:22-23).

Melalui buah-buah Roh itu kita akan dapat mengungkapkan dan mewujudkan hidup persaudaraan kita dengan siapa saja melalui bahasa kasih yang mempersatukan. Rasul Paulus juga mengingatkan agar kita jangan membiarkan diri kita dikuasai oleh nafsu kedagingan kita, karena hal itu dapat mengakibatkan perpecahan, kehancuran dan membuat manusia saling memangsa satu sama lainnya.

Perbuatan daging yang berhubungan dengan segala jenis kejahatan (Gal.5:19-21), tidak akan pernah melahirkan dan  mengekspresikan bahasa kasih, selain menampilkan bahasa egoisme, bahasa kesombongan bahkan bahasa kematian. Hanya bahasa kasihlah yang dapat menumbuhkan budaya kehidupan dalam kebersamaan kita dengan orang lain.

Injil Yohanes15:26-27;16:12-15 mengajak kita untuk melihat peristiwa Pentakosta tidak saja sebagai peristiwa zaman lampau, tetapi juga sebagai peristiwa saat ini. Roh Kudus dicurahkan kepada diri kita masing-masing, agar hidup kita senantiasa  dituntun kepada suluruh kebenaran dan kebaikan,  sebagaimana dikatakan dalam Injil Yohanes 16:13: “Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran (Ia akan menuntun kamu kepada seluruh kebenaran)”. Dengan ini kita disadarkan bahwa setiap kita yang membuka hati dan pikiran pada bimbingan Roh Kudus akan senantiasa hidup dalam kebenaran dan kebaikan. Dan dengan itu kita juga akan dapat mengekpresikan dan mewujudkan bahasa kasih dalam kebesamaan kita dengan orang lain.

Roh Kudus sebagai Roh Pembaru memiliki daya yang kuat dalam memperbarui  keadaan hati kita: dari gelap menjadi terang, dari ragu-ragu menjadi pasti, dari benci menjadi kasih dan dari jahat menjadi baik. Dan Roh Kudus sebagai Roh Kebijaksanaan memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mendorong kita untuk membongkar kekerasan hati kita dan menyusunnya kembali menjadi bangunan kedamaian dan kelemahlembutan. Dan Roh Kudus itu jugalah yang mendorong kita untuk menciptakan bangunan kokoh dalam kehidupan iman kita, sehingga dengan kesadaran dan keyakinan penuh, kita boleh membangun komitmen untuk  menjadikan Yesus sebagai segala-galanya dan milik kita yang paling berharga dalam hidup ini.

Dan akhirnya hanya kekuatan dan penyertaan Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk bersaksi tentang cinta dan damai dalam kehidupan kita bersama orang lain. Dan ini adalah sungguh perintah Yesus kepada kita untuk menjadi saksi cinta-Nya di dunia. Di saat kebersamaan dan kesatuan kita sebagai bangsa Indonesia mengalami kemunduran karena ego suku, agama dan ras, maka baiklah kalau kita selalu memohon bimbingan Roh Kudus, seperti Doa Santa Fransiskus Asisi:

Di mana terjadi kebencian, kita menjadi pembawa damai. Di mana terjadi penghinaan kita menjadi pembawa cinta kasih. Di mana terjadi perselisihan, kita menjadi pembawa kerukunan. Di mana terjadi kebohongan kita menjadi pembawa kejujuran. Di mana terjadi perpecahan kita menjadi pembawa persatuan. Di mana terjadi kebimbangan kita menjadi pembawa kepastian. Di mana terjadi kesesatan kita menjadi pembawa kebenaran. Di mana terjadi kecemasan, kita menjadi pembawa harapan. Di mana terjadi kesedihan, kita menjadi pembawa kegembiraan. Dan di mana terjadi kegelapan, kita menjadi pembawa terang. A M I N.

Salve dan Berkat Tuhan dari Merauke.

Related Post

Leave a Reply