LIMA MATA: MELIHAT PERANG
Perang itu parade kejahatan kemanusiaan
Perang itu tontonan kebiadaban insani
Apa pun alasannya
Sumbernya adalah kebodohan,
iri dengki dendam
permusuhan
kerakusan manusia
mempertahankan dan memaksakan kepentingan diri dan kelompoknya
lalu para pihak saling membunuh
bahkan dengan melibatkan sesama pendukung,
sambil meneriakkan nama Allahnya masing-masing
Mata raga
Melihat ada dua pihak saling menyerang
dan saling membunuh atas nama kebenaran diri dan kelompoknya
Harta benda musnah
Ada luka, darah mengalir dan nyawa melayang
Mata Rasa
Melihat isak tangis kesedihan
dan derita ketakutan mengerikan
juga senyum tawa
dan sorak-sorai di atas darah jenazah musuh
Jasad manusia seperti puing-puing reruntuhan
dan longsongan peluru
Mata Nalar
Melihat hamburan alasan dan argumen
saling menuding dan mempersalahkan
Sejuta argumen dibangun
untuk pembenaran dan mendapat dukungan
Hujan, banjir dan lautan kata-kata argumen
serta ide terus bergelora untuk memenangkan diri dan kelompok
Perang tak usai….
Mata Nurani
Melihat dengan samar dan rabun
terhalang iri dengki dendam permusuhan
Mata kerinduan asali dilumuri darah keluarga
dan mata dambaan kodrati ditutup jenazah sanak saudara
Maka hanya pembalasan dan harus perang
meskipun tidak menghidupkan kembali yang mati
dan justru menambah kematian dari yang masih hidup
Perang terus terjadi…
Mata Jiwa
Telah buta dan tidak bisa melihat hakikat kodrati insaniah dan ilahiah manusia
Iri dengki dendam permusuhan
karena kesombongan diri
dan meyakini mutlaknya kebenaran diri dan kelompok
telah mematikan jiwa
Meski masih beribadah dan teriakkan nama Allah
Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
dipaksa ikut berperang membunuh sesama
karena dicap musuh dan penjahat
Jiwa pelaku
perang sejatinya telah mati
sebelum raga dihancurkan senjata
Perang adalah proklamasi nafsu kebinatangan
yang membunuh nur dan fitrah Allah
dalam diri kedua pihak yang melakukannya
Wahai sesama saudara-ku di seluruh penjuru bumi
Dengan Lima Mata:
mari melihat perang sepanjang sejarah peradaban manusia di delapan penjuru bumi
Mari masuk dalam kamar pribadi untuk mengkaji
Mari kembali kepada hakikat diri dan hening bertanya:
Pantaskah saya menilai perang?
Wajarkah saya mengadili pelaku perang,
yang tangannya berdarah saling membunuh?
Apakah kehidupan, damai,
kasih sayang bisa lahir di atas banjir darah, sobekan jasad,
serakan tulang belulang dan reruntuhan puing?
Wahai sesama saudara-ku
Perang itu kematian jiwa nurani yang direncanakan akal,
emosi dan dilakukan raga
untuk saling membunuh
demi mempertahankan mutlaknya kebenaran nafsu diri dan kelompok
Dengan “Lima Mata”,
kuharus pilih dan putuskan siapakah diriku dan di mana:
Bagian dari perang dan membuat perang baru,
ataukah bagian dari solusi dan menghentikan perang?
Diriku sebagai manusia insaniah dan Ilahiah
citra dan fitrah Allah di tengah dunia.