Oleh Simply da Flores, Alumnus STF Driyarkara Jakarta
TEMPUSDEI.ID (3 JUNI 2021)
Sejumlah fakta tersaji di Papua. Di Merauke tertangkap 11 terduga teroris yang berasal dari luar Papua. Sebelumnya ada pernyataan dari Menkopolhukam bahwa kelompok KKB OPM adalah teroris.
Fakta lain adalah derita panjang nasib HAM Orang Asli Papua (OAP) dengan pengalaman tidak seimbangnya pembangunan sosial ekonomi di sana dibanding dengan wilayah lain di tanah air. Padahal, sumber daya alam Papua dieksploitasi dan memberi manfaat besar bagi devisa negara; khususnya dari kegiatan PT. Freeport dan perusahan asing lainnya di tanah Papua.
Di lain pihak, ada terobosan nasional pembangunan yang memberi harapan baru, yang dilakukan Presiden Jokowi, dibanding para Presiden sebelumnya. Pembukaan isolasi wilayah dengan jalan trans Papua, pembangunan sejumlah sarana dan prasarana, pendeklarasian titik nol dan kapsul cita-cita di Merauke, pemekaran wilayah administratif, pemberlakuan harga BBM yang setara dengan wilayah lain di Indonesia, juga tambahan alokasi dana pembangunan sebagai daerah otonomi khusus. Ada angin segar perubahan dalam cara pandang Jakarta ke Papua dan perhatian untuk pemerataan pembangunan.
Konteks Sejarah dan Adat Budaya
Papua memiliki konteks sejarah yang berbeda dengan wilayah lain di NKRI, karena secara dejure baru masuk tahun 1969. Ada banyak pendapat dan sikap tentang hal ini, baik internal Orang Papua, maupun secara Nasional Indonesia, serta luar negeri. Yang patut disyukuri dan digarisbawahi adalah fakta kesatuan wilayah negara dari Sabang sampai Merauke sebagai tanah air NKRI.
Dalam proses pembangunan di Papua, khusus sejak 1969 sampai sekarang, memang harus diakui adanya perbedaan mencolok dengan wilayah lain di Indonesia. Secara internal ada banyak faktor kendala; khususnya soal topografi dan sosial budaya. Ada tujuh wilayah adat budaya di Papua, dengan ratusan suku yang tersebar, namun memiliki karakter serta keunikannya masing-masing. Baik dalam hal bahasa, maupun relasi antar suku maupun akses dengan pihak luar untuk pembangunan kesejahteraan sosial ekonomi.
Fakta yang demikian itu, menjadi salah satu akar persoalan bagi pihak pemerintah pusat dalam komunikasi, merencanakan dan melakukan pembangunan di wilayah Papua selama ini.
Ada pihak non pemerintah yang juga ikut terlibat mendukung upaya pembangunan sosial ekonomi, yakni lembaga agama: zending, misi dan dakwah serta dagang. Zending dari pihak gereja Kristen, Misi dari gereja Katholik, Dakwah dari Islam dan dagang dari suku bangsa Bugis, Makassar, Jawa dan China.
Dari pihak lembaga agama, selain soal rohani, ada upaya pengembangan pendidikan dan kesehatan. Sedangkan pihak asing, yakni perusahan yang bergerak dalam eksploitasi sumber daya alam sebagai investor.
Dalam konteks sejarah dan adat budaya yang demikian, terjadilah banyak hal positif dan negatif yang dialami Orang Asli Papua di tanah lahirnya. Terhadap nasib tidak nyaman dan penderitaan mereka, lahirlah banyak sikap dan reaksi, kemudian ada kelompok masyarakat justru memilih sikap politik, yakni memperjuangkan kemerdekaan – OPM. Ada perjuangan diplomasi dan juga perjuangan senjata, dan sudah memakan sangat banyak korban.
Satu kesulitan besar yang terjadi adalah soal komunikasi antara Pemerintah Pusat dengan segenap lembaganya terhadap pihak yang menyatakan sikap politik mau merdeka di tanah Papua.
Karena berbagai pengalaman kegagalan komunikasi dan tidak saling memahami itulah, yang menjadi konteks persoalan hingga sekarang, dengan kondisi terakhir dinyatakan oleh Menkopolhukam bahwa pihak KKB OPM adalah teroris di mata NKRI.
Komunikasi yang Humanis dan Doa
Sebagai sesama Saudara-i, khususnya sesama warga bangsa, sikap solider harus ada. Doa menjadi satu jalan ampuh untuk mendukung segala upaya positif mengatasi masalah oleh pihak berwenang NKRI dengan pihak yang berontak dan mau merdeka. Hal sama perlu dilakukan juga bagi kelompok yang disebut teroris dan kelompok ekspresi ketidakpuasan terhadap pemerintah yang lainnya.
Ada harapan agar ditemukan solusi terbaik berdialog dan pihak mediasi yang dipercaya, sehingga berbagai persoalan dalam negeri, seperti bapak dan anak, tidak diselesaikan dengan senjata. Senjata biasanya solusi paling akhir; karena untuk damai, tidak bisa darah dan jenazah yang berbicara.
Perjuangan untuk kesejahteraan dan kemanusiaan, tidak pernah dijamin oleh kekerasan dan pertumpahan darah, melainkan saling dialog dan berunding untuk mendapat solusi. Juga soal penegakkan hukum, jika terjadi hal kriminal dan tindakan pidana oleh warga masyarakat. Sedangkan komunikasi, dialog dan upaya kemanusiaan perlu terus dilakukan, dengan melibatkan segenap pihak yang dipercaya, netral serta berkompeten; baik dalam komunitas masyarakat Papua, dalam negeri maupun dari luar NKRI sejauh diperlukan.
Pemerintah NKRI sudah punya pengalaman dahulu dengan NII, DI/TII, juga Organisasi Aceh Merdeka dan kasus Timor Leste. Maka, para petinggi di tingkat Pusat kiranya akan menemukan solusi terbaik untuk keadaan dan masalah di Papua; baik untuk keutuhan NKRI maupun jaminan hak hidup serta kesejahteraan sosial ekonomi. OAP sebagai warga NKRI dan bagian integral tanah air Indonesia tercinta.
Sebagai masyarakat kecil, ada keprihatinan tentang nasib Saudara-i di Papua bahwa sepertinya ada fakta kontradiktif. Di satu pihak ada upaya perhatian serius untuk pemerataan pembangunan yang digencarkan Presiden Jokowi, tetapi di lain pihak ada kemandekan komunikasi, yang berujung pada operasi militer dan pernyataan Menkopolhukam bahwa KKB-OPM adalah teroris.
Mari kita terus berdoa bagi nasib Saudara-i di Papua, agar segera ada solusi damai, ditemukan jalan dialog dan kesepakatan kemanusiaan yang menjamin keutuhan NKRI, sekaligus menjamin hak hidup serta kesejahteraan sesama Saudara-i, yang adalah warga NKRI yang hidup di Papua.