Wanita itu selalu jadi buah bibir warga kampung. Siapa lagi kalau bukan Siti! Benar namanya Siti. Seorang wanita yang baik tuturnya. Parasnya cantik dan manis. Primadona kampungnya. Tak heran karena parasnya itu Siti bisa meluluhkan hati warga kampung. Di antara semua wanita di kampung, ia paling gemar bersolek.
Saat semua warga menyanjungnya, hanya emaknya yang tidak suka Siti bersolek. Setiap mendengar ucapan ketus dari emaknya, hubungan mereka berdua bersitegang. Tingkah emaknya ini juga sering jadi bahan gosip tetangga. Ada yang berkata, “Emaknya sudah tidak memiliki nilai sebagai wanita karena kecantikannya sudah lama hilang”. Ia sempat memarahi tetangganya itu, tetapi bukannya berhenti mereka malah semakin bergosip.
“Mak, sekali saja emak itu. Bersolek sedikit saja. Apa emak tidak marah jadi bahan gosip tetangga?” tanya Siti pada emaknya sambil menyodorkan berbagai produk kecantikan.
“Apa pula kau! Emak ini sekali pun tak mau ada riasan yang menempel di wajah emak. Sekarang kau lihat dirimu itu. Sudah belagu meniru gadis-gadi kota. Lebih baik kau kurangi saja kebiasaan bersolek kau tu. Tak elok dilihat,” jawab emak sambil menyingkirkan produk kecantikan di depannya.
Inilah yang membuat Siti enggan berbicara dengan emaknya yang dianggapnya keras kepala, walaupun begitu Siti bersikeras untuk membujuk emaknya bersolek. “Bukankah terlihat cantik di setiap kesempatan jadi kewajiban setiap wanita di dunia?” pikir Siti yang terlena dalam lamunannya.
Hampir setiap hari Siti selalu berkeliling kampung. Jalanan di kampung berubah jadi catwalk. Sering kali Siti terlihat memakai pakaian yang modis. Entah apa yang dilakukannya, hanya berkeliling tanpa arah tujuan. Melihat keadaan kampung atau sekadar memamerkan kecantikannya ke seluruh penjuru kampung. Tak jarang laki orang tergoda untuk melirik Siti.
Kelakuannya ini sering kali jadi gosipan ibu-ibu kampung. Tak terima lakinya tergoda oleh wanita lain. Siti sekarang memang belum menikah. Menurutnya, menikah akan membuat kecantikannya berkurang. Tak jarang juga ia melihat temannya yang sudah menikah sangat lusuh dan tak terawat. Bagi Siti penampilan mereka jauh dari kata cantik.
Siti larut dalam lamunannya, tak sadar langkahnya sempat terhenti sejenak. Siti yang menyadarinya kembali berkeliling kampung sembari menyapa warga. Keasikan menyapa orang sekitar, Siti tak sadar ada sepeda motor yang melintas begitu cepatnya. Kecelakaan itu tak dapat dihindari. Siti terlempar lumayan jauh dari tempatnya berdiri. Warga sekitar panik melihat kejadian itu. Siti masih menyisahkan kesadaran. Ia hampir mati rasa karena luka yang didapatnya. Tanpa pikir panjang warga sekitar melarikan Siti ke Puskesmas terdekat. Emaknya yang mendengar kejadian itu langsung tancap gas ke puskemas
Kecelakaan itu langsung menjadi topik hangat yang dibicarakan warga. Beberapa tulang Siti patah. Banyak terukir luka di tubuhnya. Sampai wajah yang ia banggakan terluka dan meninggalkan bekas yang cukup besar.
Melihat keadaan dirinya sendiri, Siti mulai stres dan jadi gila. Hampir tiap hari ia berteriak dan menangis di dalam kamar. Ia khawatir kecantikan tidak akan kembali seperti dulu. Emaknya tak kuasa melihat keadaan Siti yang begitu menyedihkan. Siti tak mau lagi pergi keluar. Sekadar bertukar pandang saja ia begitu segan. Para warga pun bergosip tentang Siti. Mereka berkata Siti sudah tak elok lagi dilihat. Kecantikannya sudah tidak ada, bahkan ada yang menyebutkan monster.
Sampai pada suatu hari, emaknya masuk ke dalam kamar Siti. Ia mulai membelai rambut anak gadisnya itu dan memulai percakapan.
“Siti… Emak tahu di pikiran kau sedang berkipir berbagai cara untuk mengembalikan kecantikan kau seperti dulu lagi. Melihat diri kau membuat hati Emak sakit,” Kata emak sambil menahan bulir air mata di sudut matanya.
“Lihat aku, Mak! Sekarang aku tidak cantik lagi. Luka ini sungguh hina! Ingin rasanya kuhilangkan luka ini dari wajahku,” bentak Siti kepada emaknya itu.
“Siti! Kamu itu cantik. Dari dulu kamu itu cantik, sekarang pun juga kamu cantik. Sekarang coba ingat kembali. Kau bersolek tiap hari untuk menyenangkan hati warga kan? Siti… Cantik tidak berarti harus memiliki wajah dan penampilan yang cantik, tapi menjadi cantik bisa dari dalam hati kau,” balas emak sambil memeluk anak gadisnya.
Siti menangis tersedu-sedu di dalam peluk emaknya. Siti mulai kembali memikirkan apa yang selama ini ia lakukan ternyata salah. Siti mulai sadar bahwa kecantikan memang pesona setiap wanita. Kecantikan bahkan bisa mengubah pandangan orang sekitar, tetapi kadang mereka kurang sadar bahwa kecantikan yang sebenarnya ada di dalam hati mereka masing-masing.
Cesilia Sasanda Eka Putri Noveliana, Mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta