Fri. Nov 22nd, 2024

Masyarakat Desa, Pondasi Kekuatan Negara dalam Pelukan Era Digital

Simply da Flores

Oleh Simply da Flores, Alumnus STF Driyarkara Jakarta

Digitalisasi, hasil karya budi daya manusia, adalah fakta paradoks, yakni membawa berkat sekaligus bencana.

Kita tentu sepakat bahwa masyarakat warga bangsa ini ada di wilayah basis pemerintahan Desa dan Kelurahan dengan RT dan RW-nya. Karena itu sudah semestinya pembangunan nasional serius memberi perhatian dan anggaran kepada masyarakat di tingkat basis tersebut.

Kita bersyukur atas Alokasi Dana Desa yang semakin besar pada setiap tahun anggaran. Ini sebuah kebijakan yang berkualitas dan strategis. Pemerintahan Desa mendapatkan kepercayaan untuk mengelola anggaran pembangunan, sesuai kebutuhan prioritas masing-masing wilayah dan masyarakatnya. Proses perencanaan musyawarah pembangunan dusun (Musbangdus), musyawarah pembangunan desa (Musbangdes), menjadi harapan untuk semakin meningkat kebermanfaatan dana itu bagi masyarakat.

Sejalan dengan kebijakan itu, diperlukan peningkatan kapasitas aparatus Desa – Kelurahan, sekaligus partisipasi publik semakin baik. Keadaan ini bervariasi di berbagai wilayah tanah air yang begitu luas. Akan tetapi, hal-hal tersebut kiranya menjadi “angin segar” untuk perhatian dan fokus pembangunan kesejahteraan masyarakat; mulai dari Desa dan Kelurahan.

Terlihat jelas, ada perhatian khusus dari pemerintahan Presiden Jokowi dengan memberikan prioritas untuk mengentaskan masalah di area termiskin, tertinggal dan terluar (3T). Semua Departemen – Kementerian diminta memberi perhatian serius bagi masyarakat di area khusus 3T tersebut. Alokasi anggaran pun dibuat khusus bagi Desa yang teridentifikasi sebagai wilayah 3T.

Semoga dalam waktu tersisah pemerintahan Jokowi ini, berbagai persoalan masyarakat di wilayah dengan kriteria 3T semaksimal dapat mungkin dituntaskan.

 Digitalisasi dan Pembangunan

Suka atau tidak, peradaban milenium terus berkembang. Zaman tradisional berkembang ke zaman modern, lalu sekarang masuk zaman milenial. Salah satu ciri khusus zaman ini adalah kemajuan teknologi informasi yang serba digital.

Atmosfer baru, digital milenial, yakni hadirnya sarana teknologi informasi mengubah pola relasi manusia, mengganti sistem informasi dan komunikasi, serta berubahnya nilai dan orientasi serta jarak jangkau lintas wilayah dan generasi. Banyak dampak positif bagi kemudahan kehidupan, tapi sekaligus  banyak akibat negatif yang terjadi bagi pihak yang tidak siap. Ini menyangkut ketidaksiapan secara kemampuan, pengetahuan dan keterampilan, maupun pada ketahanan nilai dan prinsip hidup. Entah relasi sosial, dengan alam, bahkan dengan Sang Pencipta.

Masyarakat di desa, termasuk wilayah 3T, tidak dapat menahan atau menolak kemajuan peradaban digital ini. Kondisinya justru memaksa kemampuan individu dan komunitas untuk beradaptasi dan menentukan sikap. Jika terbuka, kreatif dan mau belajar, maka ada peluang untuk bertahan dan mendapat manfaat. Jika tertutup dan tidak mampu beradaptasi, maka akan tergilas kemajuan peradaban digital, bahkan tertinggal dan gugur sebagai korban dari kemajuan zaman.

Pembangunan nasional pun sekarang sedang berjuang keras menyelamatkan dan sekaligus menyejahterakan warga bangsa ini dengan kemajuan zaman milenial ini, apalagi saat serangan Pandemi Covid-19 yang bersifat global dan masih misterius penyebabnya dan waktu selesainya ini.

Digitalisasi memaksa masyarakat di desa dan seluruh dunia untuk bangun, sadar, beradaptasi dan mampu memanfaatkan kemajuan teknologi digital bagi segenap aspek kehidupan. Digitalisasi, hasil karya budi daya manusia, adalah fakta paradoks, yakni membawa berkat sekaligus bencana. Manusia harus memilih dan berjuang menghadapi secara kreatif, transformatif dan inovatif.

 Khasanah Tradisi Leluhur vs Digitalisasi

Masyarakat Desa di seluruh tanah air Indonesia adalah masyarakat dengan tradisi adat budaya yang beraneka ragam.  Keanekaan adat budaya dan suku bangsa serta agama kepercayaan, sungguh sebuah berkah Sang Pencipta dan telah terbukti menjadi fondasi bagi lahirnya NKRI tercinta ini. Namun, kapasitasnya bervariasi dalam mengelola dan menjaga identitas kultural, sumber daya alam lingkungan, sekaligus menghadapi perkembangan zaman secara global. Apalagi saat memasuki zaman milenial dengan kekuatan teknologi informasi dan digitalisasi.

Masyarakat di desa tidak bisa menghindar atau mencuci tangan dari pengaruh digitalisasi. Justru, siap atau tidak siap, suka atau tidak suka, digitalisasi sudah menjadi atmosfer global dalam zaman milenial ini.

Karena itu, semua pihak harus menghadapinya berbagai hal dengan kreatif, transformatif dan inovatif entah untuk urusan politik seperti Pilkada dan Pilkades serentak, juga soal pandemi, maupun perubahan di seluruh bidang kehidupan zaman now.

Pada bagian zaman milenial ini, justru manusia yang harus memaksa diri menyesuaikan dengan teknologi ciptaannya, bukan sebaliknya. Modernisasi dan digitalisasi telah menjadi raksasa otonom, yang siap memangsa manusia penciptanya.

Seorang filsuf Perancis, Jaquez Ellul,   pernah mengingatkan soal teknologi, karya budi daya manusia dengan kecemerlangan rasionalitasnya. Menurut Ellul, jika manusia tidak bijak dalam menciptakan dan mengembangkan teknologi, maka manusia akan dimangsa oleh hasil rasionalitasnya, karena teknologi yang sudah tercipta belum tentu bisa dikendalikan.

Teknologi sudah menjadi otonom dengan super powernya, dan hanya bisa bermanfaat jika manusia beradaptasi dengan hasil karyanya yang canggih itu.

Maka, usul Ellul, manusia harus mengembangkan teknologi humanistik – human technology, yakni teknologi yang menjamin kenyamanan kelangsungan hidup manusia dengan segenap dimensinya; dalam relasi antar manusia, relasi dengan alam lingkungan dan relasi dengan yang Adi kodrati, harus diberi tempat.

Hemat saya, inilah hal paling mendesak bagi strategi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, juga fokus pembangunan masyarakat di desa – kelurahan di seluruh wilayah NKRI; teristimewa wilayah 3T. Soal pelaksanaan undang-undang Pemilu atau Pemilukada, Pilkada dan Pilkades serentak, kiranya penting dilaksanakan dalam konteks kesadaran akan tantangan zaman milenial ini. Mungkin kenyataan ini adalah gugatan alam dan “sebuah berkat Ilahi”, ketika Pandemi Covid-19 muncul. Wabah yang tragis menelan jutaan korban secara global, tetapi menjadi “Jedah kehidupan”, agar kita manusia sejenak berintrospeksi secara hakiki. Ke manakah arah pengembangan peradaban? Apakah kesombongan memutlakkan kecanggihan rasionalitas, demi kepuasan nafsu hedonistik, lalu mengabaikan dimensi lain dalam diri kita?

Apakah dengan digitalisasi dan semua kecanggihan milenial, kita manusia masih membutuhkan sesama dan alam lingkungan serta Sang Pemilik segenap realitas alam semesta?

Sebagai masyarakat di desa, apalagi di wilayah desa yang 3T, kiranya kearifan leluhur dan khasanah spiritual, bisa kembali menjadi pilihan untuk menjawab orientasi hidup secara bermartabat, serta menjadi pegangan untuk menghadapi Pandemi Covid-19 dan tantangan peradaban digital milenial. Sebab, totalitas diri dan hakikat kehidupan manusia, sesungguhnya tidak hanya rasionalitas, atau kepuasan nafsu selera ragawi saja.

Kedamaian dan makna kehidupan tidak hanya pada superioritas akal dan kenikmatan belaka. Manusia juga memiliki nurani jiwa. Manusia adalah makhluk spiritual dengan berbagai dimensi lainnya.

Related Post

Leave a Reply