Oleh Eleine Magdalena, Penulis buku-buku renungan best seller
TEMPUSDEI.ID (14 Juni 2021)
Manusia tidak pernah mengerti jalan hidupnya di dunia ini. Banyak orang menggantungkan cita-cita setinggi langit, ada pula yang cukup puas dengan hal-hal yang sederhana. Namun, setiap manusia tentunya mengharapkan yang terbaik terjadi dalam hidupnya. Masalahnya adalah manusia seringkali tidak mengerti apa sesungguhnya yang diperlukannya, apa yang terbaik bagi hidupnya karena jarak pandang, dan cara berpikir manusia sering sangat dangkal dan terbatas.
Kitab Kebijaksanaan (Keb 9:13-18) menyadarkan kita kembali akan keterbatasan pikiran dan kemampuan manusia. Kita bahkan tidak bisa mengetahui sungguh-sungguh soal duniawi, apalagi soal surgawi. Manusia terus-menerus bergumul untuk mengerti apa yang baik dan berfaedah bagi hidupnya. Namun, hanya manusia berhikmatlah yang sanggup menemukan apa yang sungguh-sungguh bernilai dalam hidupnya. Dan hikmat ini pun hanya dapat datang dari Tuhan sebagai anugerah bagi orang-orang yang mencari Dia, yang bergumul pagi, siang, malam mencari kehendak-Nya.
Ternyata Allah tidak membiarkan kita berjuang sendiri untuk menyibak sedikit misteri-Nya. Ia justru membiarkan diri-Nya dimengerti lewat pewahyuan, firman-Nya, dan Sabda yang berinkarnasi, yaitu Yesus.
Kita sungguh beruntung mendapat pewahyuan dari Allah sendiri. Wahyu Allah inilah yang menunjukkan makna hidup manusia dan apa yang harus dikerjakan manusia untuk mencapai hidup kekal.
Lewat Injil Lukas bab 14:25-33 Yesus sendiri dengan terus terang mengungkapkan bagaimana agar kita diakui sebagai murid-Nya. Yesus mematok persyaratan yang amat tinggi untuk para murid-Nya, yaitu totalitas dalam mencintai-Nya, dan dalam mengikuti-Nya. Tidak setengah-setengah.
Menjadi murid Yesus menuntut penyerahan total kepada-Nya. Yesuslah yang harus menjadi nomor satu dalam hidup seorang murid-Nya. Pribadi Yesus harus menempati tempat yang paling penting. Kedekatan hati, rasa cinta, dan kemesraan kita pada Yesus haruslah melebihi kedekatan-kedekatan kita dengan saudara-saudari, bahkan dengan orang tua. Memang perwujudan cinta pada Yesus tentunya terdapat juga dalam ungkapan cinta kepada orang tua, saudara dan sesama kita. Namun, suatu ketika apabila pada kita dituntut untuk memilih, maka kita tahu apa yang diminta Yesus.
Dalam ungkapan Yahudi, tidak dikenal gradasi yang menunjukkan urutan. Karena itu kata “membenci” tidak boleh dimengerti secara harafiah menurut bahasa Indonesia. Dengan kata itu, Yesus mau menunjukkan bahwa mengikuti Yesus haruslah disertai menomor-satukan Yesus melebihi segala ikatan lain.
Menomor-satukan Kristus tentunya membawa konsekuensi-konsekuensi dalam hidup. Inilah yang harus dipikul oleh para murid sebagai salib hidup ini.
Sebagai murid Yesus, seringkali kita tidak berani memikul salib kita. Seringkali kita mau mengikuti Yesus kalau hal ini memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi kita, atau kalau kita diuntungkan secara duniawi menurut pertimbangan kita sendiri.
Kenyamanan dan kemudahan duniawi ini seringkali lebih menggiurkan dan sulit kita lepaskan. Kita takut kehilangan relasi-relasi yang menguntungkan kita walaupun jelas tidak sesuai dengan ajaran-Nya. Kita takut kehilangan apa yang sudah kita nikmati, padahal apa yang akan diberikan Tuhan jauh lebih besar daripada semua itu. Masalahnya, seringkali kita belum mampu melihat manis anugerah Tuhan itu, sehingga kita tidak berani melepaskan kenyamanan dan kemudahan duniawi. Untuk mampu mengikuti Yesus dengan meninggalkan segala-galanya, pertama-tama kita harus yakin dulu dalam iman akan anugerah Tuhan ini, dan berani menyerahkan diri sepenuhnya.
Kedua, kita perlu memohon kepada Tuhan agar melimpahkan anugerah itu sehingga kita bisa mengecap betapa sedapnya mengikuti Tuhan. Tuhan pasti memberikan anugerah itu, tetapi pada saat yang tepat menurut Tuhan. Semuanya indah menurut waktu yang ditetapkan Tuhan.
Akhirnya, kesadaran dan kerelaan kita untuk mengikut Yesus secara total, menomor-satukan Yesus melebihi apa pun juga adalah anugerah-Nya. Semoga penghayatan iman kita diteguhkan oleh rahmat-Nya. (Mata Iman, 2017)