Oleh Romo Mudji Sutrisno SJ, Budayawan dan rohaniwan
TEMPUSDEI.ID (16 JUNI 2021)
Patung karya Dolorosa Sinaga berupa sosok Multatuli (nama samaran Eduard Douwes Dekker), duduk menyergah setiap orang yang lewat di Taman Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Max Havelaar 1859 ditampilkan dalam rupa buku besar terbuka di tangan sang pengarang, Multatuli.
Di patung ikonik ini terpancar pentingnya buku sebagai sarana literasi untuk membangun kesadaran tentang kejahatan kolonial Belanda. Pembaca dicelikkan melalui kata berjiwa yang dirangkai menjadi buku. Tengoklah tulisan bernas di bawah patung: Aku tidak bermaksud untuk menulis dengan baik. Aku ingin menulis agar didengar.
Ini simponi kata yang lembut, tetapi tajam mengisi buku Max Havelaar yang secara harafiah berarti “lelang kopi”, yang memeras pribumi untuk kopi kebutuhan pasar Belanda saat itu. Maka benar sekali ketika Pramoedya Ananta Toer lantang menulis “…buku ini jelas mau membunuh kolonialisme”.
Pernyataan tersebut ditulis Pram di New York Tines, 18 April 1999 saat membedah buku Max Havelaar. “Buku ini yang membunuh kolonialisme,” tulis Pram.
Memosisikan patung ini di Taman Fakultas Ilmu Budaya UI jelas mau memberi edukasi bagi generasi now untuk tetap menyambungkan budaya tulis dan budaya digital dengan jembatan, yaitu “kata”.
Sebenarnya narasi soal patung Dolorosa mengajarkan kisah literatif seperti patung Primaria yang sama di Museum Lebak, tempat seluruh narasi buku Max Havelaar sebagai proses Lelang Kopi jomplang – tak adil ditulis Multatuli.
Kini Anda bisa menapaki jejaknya dengan diorama pustaka dan data berupa dokumen di Museum Lebak ini. Silahkan ke sana untuk berdialog dengan membuka buku Multatuli yang coba dinarasikan dari kata-kata cetak “mati” menjadi “hidup” di museum ini. Bersambung dan berkait eratlah Museum Lebak dengan Fakultas Ilmu Budaya UI.
Sebelum pandemi, banyak mahasiswa/i sastra, arkeologi, antropologi ngobrol santai, bahkan membawa laptop sambil diskusi dan dirkursus. Tidak hanya santai-santai. Aroma dan roh kata dan buku membahana bahkan menjadi oksigen pencerahan. Tak ada refleksi atas hidup dan olah peradaban tanpa melalui bahasa. Akar bahasa adalah “kata”.
Kata-kata yang dihamburkan Medsos untuk hoaks adalah pengkhianatan pada kebenaran kata. Dan kebenaran sebuah kata ada pada aktivitas memberi makna dan arti yang tulus karena manusia-manusia itu adalah “the signifying subjects or actors in this life”.
Semogalah sesudah pagebluk ini, bahkan sekarang, saat masih pandemi tetap pula pelaku-pelaku kata dan bahasa terus setia memuliakan kebenaran kata-kata meski terbatas “luring” dan harus “daring” berhadapan dengan sampah kata dalam hoaks.
Bila kata coba disketsakan dalam doa, ia mengandai penyediaan ruang-ruang jeda hening untuk tidak tergesa, tetapi mencoba bertindak reflektif dan sentripetal.