Sat. Nov 23rd, 2024
Rafael Temu
pohon/ilustrasi

Rafael Temu, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma

TEMPUSDEI.ID (22 JUNI 2021)

Ana. Begitulah orang-orang memanggilnya. Ibunya meninggal dunia beberapa tahun lalu karena mengalami pendarahan saat melahirkan adiknya. Sementara ayahnya meninggal saat ia telah sepuluh kali berulang tahun. Penyebab kematian ayahnya tidak diketahui dengan jelas, yang pasti tiga hari setelah pulang dari kebun dengan membawa bintik merah yang bernanah di sekujur tubuhnya, ayahnya meninggal. Kata orang “pintar”, ayahnya terkena kutukan. Nitung1, penunggu pohon yang ada di kebunnya marah karena ayah Ana merusak rumah mereka.

Setelah kepergian orang tuanya, Ana hidup bersama nenek dan adiknya di sebuah rumah berdinding gedek, berlantai bumi, dan beratapkan alang-alang yang mulai pucat dan menghitam. Di samping rumah, ada sepetak lahan berbentuk persegi panjang yang ditumbuhi mete, jagung dan ubi kayu. Jenis tumbuhan pangan lainnya tak dapat hidup di desa mereka karena tanahnya mengandung pasir. Hasil lahan yang tak seberapa inilah yang menghidupi mereka bertiga.

Meskipun cukup gersang, ternyata desa itu menyimpan sebuah mata air yang bisa digunakan untuk bercermin. Mata air itu terletak di sebelah timur desa. Sedikit menaiki perbukitan, ada sebuah beringin besar seukuran pelukan lima orang dewasa yang menanungi mata air. Dalamnya tak lebih dari satu meter. Mata air itu dikelilingi pohon-pohon dan batu-batu yang tertata rapi. Di atas mata air itu tergantung akar-akar pohon beringin yang keluar dari salah satu dahannya. Itulah satu-satunya mata air yang ada di desa itu.

Setiap pagi dan sore, kecuali Minggu pagi, Ana dan adiknya pergi mengambil air ketika anak-anak yang lain berangkat ke sekolah.

Pada suatu hari, Ana baru bangun ketika matahari berada di ubun-ubun karena semalaman membantu neneknya menganyam bakul. Gadis itu mengusap matanya. Sesekali mengangkangkan mulut dan mengeluarkan napas sambil meraba-raba seperti mencari sesuatu di tempat tidurnya. Ia segera bangkit dari pembaringan. Langkahnya sempoyongan menuju bilik nenek. Nenek masih pulas dengan mimpi-mimpinya. Ia berjalan menuju arah dapur. Satu gentong air sudah terisi penuh, sementara gentong yang lain setengahnya sudah terisi. Di samping tungku, salah satu ember yang berukuran sedang lenyap. Ana langsung berlari kecil menuju arah matahari terbit dengan bengkak yang masih menggantung di matanya.

“Marni! Marni! Marni!”

Tak ada jawaban. Hanya gema teriakan yang kembali menghampiri telinga Ana.

Ana menarik napas dalam-dalam dan kembali memanggil.

“Marni! Marni! Marni!”

Kali ini keheningan mata air yang menjawab panggilan Ana.

Wajah pucatnya menerawang ke kiri dan kanan kawasan itu mencari keberadaan Marni, namun hanya kawanan pohon yang dijumpai. Di ujung setapak tampak sosok yang Ana kenal betul. Gadis kecil itu tergeletak di samping ember kecil yang masih terisi penuh.

Ana berlari menghampirinya, menyandarkan kepalanya ke dada Marni kemudian mengelus dadanya. Ana mengguncang-guncang tubuh kecil adiknya. Marni masih belum bergerak. Ana memeriksa tubuh adiknya. Tidak ada luka sedikitpun, namun di kaki dan tangan Marni tiba-tiba muncul bintik merah. Ana memeriksa kembali di bagian tubuh adiknya yang terbungkus baju, ternyata sekujur tubuh Marni dipenuhi bintik merah. Ana menggendong tubuh adiknya kemudian berlari ke barat meninggalkan ember.

Nenek terpaku sesaat di samping balai-balai. Bola matanya bergerak menyusuri kepala hingga kaki Marni. Wanita tua itu mendekat, ia duduk di samping kepala cucunya dan meletakkan tangannya di leher Marni. Nenek menggeleng. Ia kemudian berpaling dan meminta Ana segera memanggil molang2.

“Ana… Cepat panggil Kobus ke sini. Mereka ternyata masih mengikuti kalian.”

Tanpa banyak tanya, Ana berlari menuju rumah molang dan kembali ke rumah bersama seorang lelaki tua yang dimaksud nenek.

“Kobus, tolong lihatlah cucuku. Sepertinya para penunggu pohon waktu itu masih menaruh dendam atas perlakuan ayah mereka.”

Lelaki tua yang disapa Kobus mengeluarkan sirih pinang dan beberapa akar pohon dari bungkusan yang bertuliskan “Gulaku”, kemudian memakannya. Dia memejamkan mata sambil komat-kamit membaca mantra. Beberapa menit berselang molang membuka matanya lalu menatap lekat ke arah nenek.

“Kenapa kalian biarkan dia sendirian ke mata air? Ini beda dengan yang dialami ayah mereka. Anak ini telah makan bersama para penunggu mata air itu. Ia tak dapat ditolong lagi. Sudah terlambat, cucumu sudah mereka bawa. Saya sudah coba minta agar ia ditukarkan dengan seekor babi, tapi sayang, mereka menolak, tapi…”

Ana menutup telinganya, perkataan lelaki tua itu pun menjauh. Telinganya memerah. Tubuhnya bergetar. Ia beringsut ke tiang rumah dan bersandar sebelum terjatuh. Keringat membasahi tubuh Ana. Ia menyeka keringat yang hendak menyengat matanya. Gadis itu memijat kepalanya perlahan kemudian langkahnya lunglai menuju dapur. Ia kemudian meraih sebilah parang yang terselip di dinding dapur. Ana terseok-seok menuju ke timur dengan sebilah parang yang tergenggam erat.

***

Air dalam ember yang dipegang Ana beriak-riak. Butiran keringat meluncur mencampurkan dirinya dengan air yang ia bawa.  Ana menyeka keringat dari alisnya. Mata sayunya masih menatap lekat dahan pohon beringin di atas mata air yang telah terpotong.

“Kalau saja waktu itu aku tidak merusak rumah mereka, mungkin aku masih sempat mengambil air bersama Marni hari ini.”

“Nenek, ayo cepat. Sore ini Marni ingin membuat kopi yang spesial untuk bapak. Mungkin bapak sudah kembali dari kebun dan saat ini sedang menunggu kita.”

Ana menyeka air matanya yang tiba-tiba gugur. Ada sebingkis senyum yang lahir di wajah keriputnya. Wanita tua itu mengambil ember bawaannya kemudian melangkah ke arah suara tadi. Gadis kecil dan Wanita tua itu berjalan ke barat meninggalkan mata air dan menghilang di balik bukit bersama senja.

CATATAN: Nitung: makhluk halus penunggu batu dan pohon-pohon besar.

Molang: orang “pintar” atau dukun.

Related Post

Leave a Reply