Oleh Romo John Kota Sando, Pr
TEMPUSDEI.ID (29 JUNI 2021)
Manusia adalah makhluk yang selalu berada dalam situasi batas. Sering dalam menghadapi masalah kehidupan yang rumit, manusia bisa kehilangan kesabaran. Ia dapat saja mengutuk kehidupan ini sebagai sesuatu yang tidak ada artinya apa-apa. Ia juga dapat memberontak kepada Tuhan karena merasa bahwa Tuhan itu tidak adil. Bahkan ada yang memilih lebih baik mati daripada hidup penuh penderitaan.
Mungkin karena perasaan yang sama ini, seorang filsuf Jerman Friederich Nietzche (1844-1900) mengatakan “life is meaningless” (hidup ini tak berarti). Bahkan ia mengajak banyak orang tidak percaya pada Tuhan. Alasannya adalah kalau memang Tuhan ada, “mengapa harus ada penderitaan, kemiskinan, penyakit, perang dan kematian?”. Tuhan sudah mati, katanya.
Itulah yang terjadi jika kita memandang Tuhan dan hidup ini dari sudut pandang manusiawi kita yang terbatas ini. Itulah juga yang terjadi jika iman itu tidak kuat berakar di dalam diri manusia, sehingga hidup dianggap sebagai sesuatu yang tidak bernilai. Kita lalu seenaknya menghakimi Tuhan tidak adil.
Pertanyaannya, apa hak dan kapasitas kita menilai hidup ini “meaningless” dan menghakimi Allah sebagai Allah yang tidak adil, kalau kita masih berpijak dan menjalani hidup di bumi ciptaan-Nya ini? Hati manusia telah dibutakan oleh kesombongannya, sehingga dengan seenaknya meremehkan hal-hal yang penting dan mulia dalam hidup ini.
Bacaan pertama hari ini dari Kitab Kebijaksanaan menyadarkan kita bahwa Allah tak pernah sedikitpun menghendaki kehancuran dan kebinasaan atas hidup manusia: “Allah tidak menciptakan maut, dan Ia pun tidak bergembira kalau makhluk yang hidup musnah binasa. Sebaliknya Ia menciptakan segala sesuatu supaya ada; dan supaya makhluk-makhluk jagat menemukan keselamatan” (Keb.1:13-14). Manusia menderita bukan karena perbuatan Allah, tetapi karena perbuatan dosanya sendiri. Manusia memandang hidup ini “meaningless” karena ia tidak tahu menghargai hidup ini sebagai anugerah Tuhan.
Ganasnya serangan Pandemi Covid-19 yang akhir-akhir ini semakin mencemaskan kita, tidak boleh sampai mengendorkan semangat iman kita. Kita harus meletakkan dalam kesadaran kita bahwa Tuhan tak sedikitpun menghendaki kehancuran dan kebinasaan atas hidup kita. Ini menjadi cobaan terberat dalam hidup kita untuk menguji kesetiaan dan iman kita serta menjadi kesempatan bagi kita untuk lebih banyak berintrospeksi diri.
Cerita injil hari ini mempunyai pesan penting untuk kita bahwa melalui mukjizat kebangkitan yang terjadi atas diri puteri Yairus, kita diingatkan bahwa ketika kita berada dalam situasi batas dan ketakberdayaan, Tuhan akan menyatakan mukjizat-Nya pada kita. Bacaan kedua meneguhkan kita bahwa Allah akan menggunakan segala cara yang baik agar kita jangan hidup dalam kekurangan. Dengan cara-Nya sendiri Ia akan menggerakkan hati orang-orang yang berkelimpahan untuk menolong orang-orang yang berkekurangan. Itulah mukjizat Tuhan yang bekerja dalam diri kita bagaimana Tuhan menjadikan kita sebagai “alat-Nya” untuk dapat membahagiakan sesama.
Mukjizat Tuhan itu selalu ada di sekitar kita, terjadi setiap hari, bahkan kita alami sendiri. Ia hadir dalam ketakberdayaan kita, dalam setia doa, kesakitan, derita dan air mata kita. Namun perlu diingat bahwa mukjizat Tuhan itu tidak akan pernah datang dengan sendirinya tanpa iman dan kekuatan doa kita.
Iman membuka pintu rahmat Tuhan di setiap hal dalam kehidupan kita. Kekuatan doa kita akan mampu mengubah dan mengalahkan segalanya; membangkitkan semangat hidup dan membawa keajaiban. Percayalah, bahwa mukjizat itu nyata.
Salve dan Berkat Tuhan.
Merauke, 27 Juni 2021.