Oleh Eleine Magdalena, Penulis buku-buku renungan best seller
TEMPUSDEI.ID (12 JULI 2021)
Melangkah keluar dari zona nyaman membutuhkan keberanian sekaligus kepasrahan. Bertumbuh kerap disertai rasa sakit.
Seringkali saya “harus” melakukan yang saya takuti dan yang tidak saya mengerti. Ketika baru beberapa bulan mengikuti kelompok doa, saya diminta untuk menjadi pelayaan sel (baca: kelompok doa yang terdiri dari 4-16 orang). Anggota sel terdiri atas para senior yang telah berpengalaman. Saya menolak menjadi pelayan sel karena takut. Saya berpikir saya tidak akan mampu karena selain masih muda, saya juga belum berpengalaman. Atas desakan teman-teman, akhirnya saya meminta waktu untuk mempertimbangkan hal ini.
Selama beberapa hari Tuhan meneguhkan saya lewat sabda-Nya. Syair lagu: “Maukah kau jadi roti yang terpecah bagi-Ku, maukah kau jadi anggur yang tercurah bagi-Ku, maukah kau jadi saksi memberitakan Injil-Ku…” terus menggema dalam hati. Saya benar-benar takut karena tidak tahu bagaimana dapat melakukannya, namun tawaran-Nya untuk terpecah dan tercurah bagi-Nya, menyentuh dan memanggil saya untuk menerima tugas ini.
Tugas ini berlanjut dengan tugas-tugas lain. Saya diminta untuk mengajar dan memberikan renungan. Awalnya sungguh-sungguh berat untuk mengajar teman- teman dalam kelompok. Saya mempersiapkan bahan sebaik-baiknya dan banyak berdoa, namun tidak membuat saya menjadi tenang dan pasrah. Saya banyak bergumul dengan diri sendiri mematikan egoisme. Saya berjuang agar tampil bukan untuk mencari pujian orang. Saya berjuang memurnikan motivasi agar melakukan semua pelayanan demi kemuliaan Tuhan. Proses ini memerlukan waktu sampai saya benar-benar menyadari bahwa dari diri sendiri saya tidak mungkin mampu memenuhi kebutuhan rohani orang lain. Hanya dari tangan dan mulut Allah saja, segala Firman dan makanan rohani ini dapat mengenyangkan mereka yang mendengarkan.
Ketakutan berubah menjadi kepasrahan hanya karena rahmat Tuhan. Saya bersyukur atas segala keterbatasan dan kerapuhan saya. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak melihat kemampuan, tapi kemauan kita untuk melayani-Nya. Saya bersyukur diberi kepercayaan yang jauh melampaui kemampuan saya karena itu berarti memberi ruang bagi Tuhan untuk melakukan bagian-Nya.
Bunda Maria, yang berani berkata “ya” atas kehendak Tuhan merupakan teladan bagi saya. Ketaatan Maria pada kehendak Allah memompa semangat saya untuk setia dalam pelayanan. Tidak banyak orang yang mau dibentuk Allah secara sempurna seperti Maria. Tidak heran Maria menjadi cetakan Allah untuk membentuk umat-Nya.
Dalam perlindungan Bunda Maria saya menyerahkan kedua anak kami dan peziarahan hidup mereka. Disertai doa Maria, kami membesarkan, membentuk dan mendidik anak-anak kami.
Berkata “ya” pada Tuhan berarti rela memberi waktu, pikiran, tenaga bagi orang lain. Menjawab “amin” akan Sabda-Nya berarti juga menghadapi konflik dengan orang yang tidak memahami pekerjaan Tuhan. Demikianlah hati kita sering terkoyak, ego kita dihancurkan. Itulah terpecah bagi Tuhan. (Menemukan Tuhan dalam Hidup Sehari-hari, 2012)