DARAH
Cahaya senja berdarah
cakrawala berdarah
batu-batu hitam membisu
pohon-pohon tunduk me-nyerah
semak belukar ber-kabung
matahari tenggelam dalam darah
mengapa?
apa?
kenapa?
Cidahu, November ‘99
SEPI
Di atas tembok ini
siut angin tak kedengaran lagi
seolah langit terlepas
senja temaram, sepi mencekam
ruang menanti malam
dari menara kubah terdengar suara azan
teringat Nyai salat
di atap langit jingga,
sekawan burung pulang mengaduh
ranting, dedaunan melambai lambai hening
tunduk seolah hendak sembahyang
di atas tembok ini,
malam tiba gelap merambat
aku masih sepi sedia
kala disela angin yang bungkam
begitu lama tiada yang peduli
kutanggung sendiri sebuah penantian
Cidahu, September ‘99
BAIT RINDU DALAM MIMPI
Terimakasih kepada pagi nan indah penuh kabut
membawa nyawaku pulang dari kembara malam
mencabut mimpiku untuk meneguk cahaya pagi
Tadi malam aku bermimpi tentang
tetesan hujan membasahi
padang gersang kering kerontang
ladang ilalang di kelam terik,
Deru debu terbang hinggap
pada ranting-ranting patah
tanpa setitik embun
pada sehampar tanah rumput
Mimpi itu mengajakku
menjelajahi sajak-sajak kenangan senja merah
mengamati musim kemarau,
melihat para petani tanam kaki tikam kepala
Mimpi itu mengantarku
pada senandung suara ndungga*
anak gembala lalu lalang
pada bongkahan tanah luku
mengelus dada menahan dahaga
Oh pagiku,
oh mimpiku!
apakah otakku lelah berjibaku
dengan memori Mbukabero*
hingga mimpiku membawa
bait-bait rindu dalam kepala?
Ahkkkk ….
aku berteriak pada pagi
temukan aku dengan kedamaian,
dalam sejuk
walau mimpi memecah
tangis dalam jiwa
walau jejak kenangan
masih serasa tertinggal
di padang mimpi bertajuk liar
Kuberharap hawa lembut,
embun segarmu
menyapu bait-bait mimpi semalam
dengan bunga-bunga ceria,
wewangian alam
hingga membawa hariku
dalam kasih ceria
Terimakasih ku pada pagi
*Mbukabero = sebuah desa di Sumba Barat Daya.
*Ndungga = alat musik khas Sumba
Cidahu, Ujung tahun ‘98
Lukas de Talu, mantan aktivis buruh, tinggal di Bandung