Oleh Rasnius Pasaribu, Anggota DPRD Kota Bekasi
Harus dikatakan bahwa kita tidak ada pilihan lain, selain harus menghadapi dan mengalahkan Pandemi Covid-19 yang menghantam dunia dengan amat keras ini.
Mengapa? Karena kalah berarti mati. Virus ini serius dan tidak kenal kompromi. Kita tunggu hasil kerja keras para ahli menemukan obat Covid. Syukurlah, kita sudah memiliki cara praktis dalam membangun pertahanan diri, yakni Prokes. Kita hanya perlu taat Prokes. Jika kita patuh, kita pasti bisa mengalahkannya. Karena itu, bukanlah sembarangan Pemerintah mewajibkan setiap warga masyarakat untuk patuh pada Prokes setiap kali keluar rumah. Sebab jika tidak taat Prokes ketika berada di luar rumah, ada dua kemungkinan yang terjadi; menulari atau tertulari.
Kalau kita bisa mempersempit ruang jelajah virus ini, kita akan dengan mudah mengalahkannya. Sebaliknya, jika kita abai, ruang jelajahnya akan semakin luas, lalu menjadi tidak mudah diatasi.
Bangsa Besar
Kebesaran sebuah bangsa tidak hanya dilihat dari luas wilayah dan jumlah penduduknya. Juga tidak hanya diukur dari kekayaan alamnya, tapi juga bagaimana warga bangsa itu mampu membangun solidaritas dan soliditas dalam menghadapi tantangan yang ada.
Tidak ada negara yang dengan enteng mengalahkan korona ini. Kalaulah ada negara yang dengan cepat keluar dari cengkeramannya, itu karena mereka cepat menguasai diri dan menerapkan pola hidup disiplin. Namun secepat-cepatnya mereka melepaskan diri, di negara mereka korona telah sempat memakan korban juga.
Kita pun bisa mengalahkan korona ini dengan belajar dari negara-negara yang sudah berhasil. Kita seharusnya bersyukur memiliki medan tempat belajar. Ingat! Modal utama mereka adalah sikap disiplin dan mau mendengarkan. Mereka tahu dan yakin bahwa pihak yang mereka percayai, layak dipercaya dan pasti melakukan yang terbaik. Sementara itu, Pemerintah sebagai pihak yang dipercaya berusaha semaksimal mungkin melakukan yang terbaik. Di sini, sikap dan rasa saling percaya di antara mereka bertaut. Karena saling percaya ini—yang telah terbukti—kalaupun ada kesalahan dan kegagalan di antara keduanya, masih bisa diantarai dengan baik. Rakyat pun menerima jika Pemerintah menerapkan aturan-aturan tertentu sekeras-kerasnya. Ini adalah pelajaran berharga bagi bangsa kita untuk selalu menyirami dan menyiangi rasa saling percaya itu. Kita punya jejak tentang rasa saling percaya ini. Bangsa dan negara ini pun lahir karena sikap saling percaya .
Mengulangi Mukjizat
Bangsa kita memiliki sejarah yang panjang yang ditandai dengan berbagai tantangan yang tidak main-main. Namun nyatanya, sampai hari ini kita tetap berdiri tegak sebagai bangsa. Bahkan banyak pihak terheran-heran bahwa bangsa ini masih berdiri.
Sebagai contoh, JS Furnivall dalam karya klasiknya Netherlands East Indies: A Plural Economy (1939) seperti dikutip Prof. Dr. Asyumardi Azra dalam Indonesia Bertahan; Dari Mendirikan Negara Hingga Merayakan Demokrasi (2020) sudah mengajukan skenario kiamat (“doomed scenario”) bagi Hindia Belanda (Indonesia). Argumentasi utamanya, jika Belanda tidak dapat kembali berkuasa di Hindia Belanda, negara ini bakal terpecah karena pluralitasnya yang luar biasa dan tidak ada satu faktor pun yang dapat mempersatukan. Ternyata Indonesia lolos.
Begitu besarnya tantangan itu, orang lalu menyebut Indonesia telah mengalami mukjizat. Sebutlah kemudian tiga momentum historis yang amat menentukan, yakni Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908), Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) dan Hari Kemerdekaan (17 Agustus 1945). Dan ketiga peristiwa amat bersejarah tersebut melahirkan tokoh masing-masing sebagai penanda mukjizat itu. Sebutlah sosok Sutomo, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker. Lalu tokoh Sumpah Pemuda Moehammad Yamin, Soegondo, Mr. Sunario. Dan pada Hari Proklamasi ada Soekarno dan Hatta sebagai tokoh sentral.
Mengapa tokoh-tokoh tersebut dilekati predikat sebagai “penanda mukjizat”? Karena mereka muncul dalam interval sejarah yang amat tidak mudah yang mestinya menggoda mereka untuk mencari selamat sendiri-sendiri. Tapi energi keindonesiaan dan rasa cinta yang tak terdustai, serta visi besar akan Indonesia membuat mereka menaklukkan kepelbagaian yang ada dan menjinakkan egoisme mereka sebagai orang Jawa, Padang, Sulawesi, Batak dan sebagainya.
Bendera Optimistis
Mereka pun tidak melihat perbedaan agama, dan tentu saja pandangan teologi sebagai penghalang kebersatuan mereka. Persis hal ini yang amat bermasalah saat ini di negeri ini. Orang mudah memusuhi bahkan hendak saling meniadakan karena perbedaan pandangan, aliran, agama, dan lain-lain. Ini kemunduran yang teramat sangat!
Bangsa ini telah bertahan dan teruji dengan materi ujian kelas dewa dan selalu lulus dan lolos. Hari ini pun, kita wajib mengibarkan bendera optimistis, bahwa kita akan lolos juga dari pandemi ini, tentu saja dengan juga bekerjasama secara serius untuk mengatasinya.
Inilah saatnya dengan cara sangat sederhana, setiap orang bisa mengambil bagian secara konkret menyelamatkan bangsa ini, yakni rajin mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak, mengenakan masker, hindari kerumunan.
Mari kita kobarkan semangat mengulangi keberhasilan kita dalam mengatasi pandemi ini. Inilah kesempatan yang sangat menentukan untuk kita sekali lagi membuktikan diri sebagai bangsa yang besar dan berkepribadian unggul.*