Fri. Nov 22nd, 2024

Penyintas Covid yang Nyaris Bunuh Diri, Kini jadi Relawan Penjahit Kantong Jenazah

Lukisan "Peluk Aku dalam Cinta-Mu" karya Sr. Bene Xavier pada awal masa pandemi

Sharing Suster Bene Xavier dari Austria: Pastoral di Era Digital dalam Mendampingi Penderita Covid

TEMPUSDEI.ID (28 JULI 2021)

Melalui tulisan ini Suster Bene Xavier membagikan pengalamannya dalam mendampingi mereka yang terinfeksi Covid-19  melalui media digital. Suster Bene sendiri tinggal di Vienna, Austria.  Secara virtual ia mendampingi para penderita yang tinggal di Indonesia. Penggunaan media digital bukan hanya karena jarak yang jauh, tetapi virus ini memang mengondisikan penderita berada sendirian. “Kisah ini saya bagikan dengan izin orang yang bersangkutan,” kata alumna STF Driyarkara ini Jakarta.

Hampir Bunuh Diri karena Covid

Seorang teman, terinfeksi covid 2 kali. Kali ini dia merasa tidak sanggup menanggung bebannya sendirian. Dia sering mengirim pesan pada saya, menceritakan bagaimana merasa sangat menderita pada infeksi kedua ini. Dia sulit bernafas, demam, seluruh badannya terasa sakit. Seringkali dia juga mengirim pesan suara pada saya, sambil menangis dia menceritakan penderitaannya. Belum lagi dia juga menyaksikan 4 orang anggota keluarganya yang juga terinfeksi covid dan meninggal. Saya membaca setiap pesan darinya dan berusaha selalu membalasnya dengan memberikan peneguhan dan berjanji padanya bahwa saya akan mendoakannya setiap hari.

Ia seorang LGBT, fashion designer dan menurut pengakuannya ia sendiri tidak tahu apa agama yang diyakininya. Saya katakan bahwa saya menerimanya sebagai teman setulus hati tanpa mempermasalahkan statusnya dan saya akan tetap mendoakannya sesuai keyakinan iman saya. Dia juga bertanya pada saya, bagaimana dia harus berdoa. Dia percaya Tuhan ada, tapi dia tidak mengenal dan tidak tahu bagaimana harus berdoa. Saya katakan kepadanya, setiap kali kamu menarik nafas dan menghembuskan nafas, ucapkanlah “Tuhan kasihanilah kami.”

Suatu hari ia bertanya, bolehkah dia bunuh diri, sebab dia merasa tidak sanggup lagi menghadapi penderitaannya. Dia mengatakan tidak punya harapan lagi karena tidak adanya obat, oksigen dan fasilitas lainnya untuk menunjang kesembuhannya. Jujur saja saya kaget dan sangat sedih. Saya memintanya untuk bertahan. Saya katakan, “Bertahanlah, Tuhan mencintaimu dan saya mendoakan kamu. Semoga Tuhan kirim pertolongan lewat orang-orang di sekitar kamu.” Di kemudia hari dia bercerita bagaimana ia menerima kiriman obat dari temannya, menerima kiriman makanan dari orang yang tidak dikenalnya. Ia merasakan ada mukjizat Tuhan dalam hidupnya.

Seluruh proses pendampingan ini tentu saya lakukan menggunakan media digital. Kami berkomunikasi dalam kolom private chat di instagram. Hingga pada akhirnya dia mengabarkan bahwa sudah sembuh dan kini menjadi sukarelawan untuk memjahit kantong jenazah bagi para korban covid. Betapa saya senang mendengar kabar ini dan bersyukur kepada Tuhan atas karunia kesembuhan yang dialaminya.

Mendampingi Keluarga yang Sakit

Dalam keluarga saya sendiri terdapat 6 orang yang terdeteksi positif covid. Semuanya bergejala. Bahkan kakak laki-laki saya mengalami demam selama 10 hari tanpa perawatan yang memadai sebab semua rumah sakit di Jakarta penuh. Lewat dari 10 hari barulah ia mendapatkan kamar perawatan di sebuah rumah sakit. Sungguh saya tidak memiliki kemampuan untuk menolong atau mengurangi beban mereka. Hingga saya bertanya pada kakak saya, “Apa yang bisa saya lakukan untuk mengurangi bebanmu? Tentu saja saya tidak dapat membantu secara material. Apakah kamu mau kita berdoa bersama?” Dan dia katakan “ya.”

Kemudian kami mulai berdoa bersama setiap hari sekitar 5-10 menit melalui video call pada aplikasi Whatsapp. Bukan hanya dengan kakak laki-laki, tapi saya juga melakukan hal yang sama dengan kakak perempuan, keponakan-keponakan saya. Setiap hari ketika berdoa bersama mereka menjadi saat terindah untuk melihat perkembangan mereka semakin membaik setiap harinya. Saya yakin bahwa mereka pun memperoleh kekuatan dan semangat dengan berdoa bersama, walaupun doa itu dilakukan secara virtual.

Kini saya sungguh merasa bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Bunda Maria. Mereka semua kini sudah membaik. Bagi saya ini sungguh suatu mukjizat.

Mendampingi melalui Doa Bersama secara Virtual

Setiap harinya saya menerima pesan singkat melalui Whatsapp dari teman dan kerabat di Indonesia. Mereka meminta saya mendoakan bagi anggota keluarga mereka yang terinfeksi covid. Saya mencatat semua nama mereka. Setiap malam saya mempersembahkan mereka pada Tuhan, memohon mukjizat kesembuhan dan karunia kesehatan melalui doa Rosario. Saya berdoa dalam kesedihan, karena saya tahu bagaimana situasi di Indonesia. Semua rumah sakit penuh, mereka kekurangan tenaga dokter dan perawat, banyak pasien tidak tertolong karena keterbatasan oksigen dan ventilator. Bahkan banyak yang meninggal di rumah karena tidak mungkin membawa mereka ke rumah sakit.

Selain melakukan doa secara pribadi, saya bersama teman-teman Legio Maria di Indonesia juga mengadakan kegiatan doa bersama. Dengan meminjam link zoom milik teman, kami mengadakan doa Rosario bersama setiap hari Jumat. Doa Rosario ini dihadiri oleh umat Katolik di Indonesia. Kami berdoa bersama secara virtual, saya memimpin Rosario dari Vienna Austria, berdoa bersama orang-orang di Indonesia.

Setelah selesai berdoa, terkadang kami mendengarkan kisah kesedihan mereka, berjuang dengan penyakit, berusaha tegar dengan kedukaan. Dengan pertemuan secara virtual ini kami saling menguatkan satu sama lain.

Seperti dikisahkan Sr. Bene Xavier dari Vienna, Austria

Related Post

Leave a Reply