Catatan refleksi atas “Misericordia Domini”
Oleh Vinsens Al Hayon
Aku berjumpa lagi dengan Dia di tempat kejadian penyembuhan hamba seorang perwira. Orang-orang yang hadir memperhatikan aku dengan tatapan sirik. Mereka mencibirkan bibir dan mengusir aku pergi dengan menaikkan alis dan gerakan mata. Mereka tidak suka aku mendekati Dia karena mereka kenal: “siapa aku”.
Tentang aku, banyak yang mengira Maria dari Magdala, si musisi kecapi kondang pada zaman kami. Ia amat cantik di antara putri-putri Yerusalem. Kemahirannya berkecapi membawanya ke istana untuk menghibur. Jemarinya yang lentik kala memainkan dawai kecapi, mengundang decak kagum. Para politisi, birokrat, pegawai istana, gebernur dan tetamu undangan didakwa dengan tembang “mazmur kehidupan,” karya Daud si pujangga Isreal. Mereka terpukau dan ia disanjung-sanjung. Tetapi aku bukanlah dia.
Kadang aku disamakan dengan Veronica di Via Dolorosa, tapi itu bukan nama pribadi. Itu adalah ungkapan sejati atas nama: “Gambar yang sebenarnya,” (vere, verum, vero = benar dan nika dari kata ikon = gambar). Itu “Gambar wajah sesungguhnya,” sebagai balasan misericordia Domini untuk dikisahkan turun temurun.
Tiga “Kabar Gembira” menulis tentang aku dengan senoktah beda. Tak usah pedulikan itu. Posisikan saja diriku seperti Simon si kusta yang butuh kesembuhan. Walau ada aneka duga tentang aku demikian, aku tetaplah aku, yang juga bernama Maria. Aku yang telah membuntuti langkah “Pembuat kisah kesembuhan hamba perwira” sejak di TKP.”
Derap langkah-Nya seperti menarik aku sampai ke rumah Simon si kusta, yang menjamu Dia. Para pelayan cantik menunjuk-nunjuk kepada-Nya sambil berbisik satu sama lain dengan tersipu-sipu. Sesaat lamanya aku tertegun, kemudian coba melambaikan tangan menyalami-Nya. Ia tidak memalingkan muka-Nya kepadaku. Aku jadi cemburu.
Tenggelam dalam Kesendirian
Aku seperti ditinggalkan kekasih hati dan tenggelam dalam kesendirianku. Tubuhku menggigil kedinginan seperti orang yang terempas di atas gundukan salju. Aku gemetar hebat dalam kata-kata: “Apakah layak aku menyapa-Nya.” Dalam situasi sendiriku, ada tatapan persahabatan dari seorang pelayan yang berparas cantik tipe wajahnya, ia putri dari Yunani. Ia memberi isyarat untukku agar maju mendekat.
Kuberanikan diri maju lebih dekat pada-Nya. Kupandang Dia dan hatiku gemetar karena kegagahan-Nya. Tubuhnya begitu padu dan tampilan busana-Nya meluluhkan dandananku dalam Pakaian Damaskus, pakaian pemberian seorang kapten Roma. Sambaran cahaya mata-Nya membuat aku jatuh rebah memeluk kakinya dan menangis sesunggukan seraya menuangkan minyak narwastu di buli mini yang kubawa, ke kaki dan seluruh tubuh-Nya.
Aku terisak sedih, bukan karena syahdu gembira, tetapi karena salah besar hidup-lakuku sambil dengan mayang rambutku kukeringkan tumpahan minyak pada kaki-Nya. “Tuan Muda, mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa,” rintihku dalam penyesalan dan tobat. Ia mendengarnya sambil menepuk-nepuk bahuku, dan membangunkan aku berdiri. Ia menatapku sekilas dan berucap: “Selamat, Maria.”
Kuarahkan pandang sekejap ke semua yang hadir. Mereka menatapku nanar seperti menyesalkan tumpahan wewangian ke tubuh-Nya, mengeluh: “Untuk apa pemborasan ini? Tidakkah dijual dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin.” Lalu Dia menjawab kegusaran mereka: “Mengapa kamu menyusahkan perempuan ini? Ia telah melakukan perbuatan baik bagi-Ku.”
Lalu, Ia menatapku, dan mata-Nya bagaikan bulan purnama, lain sekali dari mata manusia biasa. Dan seketika aku merasa ditelanjangkan, aku malu sekali. Masa laluku seperti diumbar-umbar. “Bintang bintang malamku” yang gemerlap memudar, redup-redup dan padam. Aku menemukan diriku lagi.
Aku dan “Predikatku”
Dahulu, aku adalah pemilik semua mereka yang berjanji mencintai aku, tetapi tak seorangpun kumiliki. Dan ketika tatapan penuh cinta-Nya menyinari seluruh diriku, aku yang digelari wanita dengan tujuh roh jahat, dikutuk dan dibenci, berubah serentak. Jadilah aku Maria sebenarnya, seorang wanita yang telah melepaskan dunianya yang dulu dan menemukan kehadiran-Nya di tempat yang baru. Hidupku mulai bercahaya surga.
Orang-orang itu, para atasan, punya jabatan, kuasa dan hartawan mencintai dirinya sendiri ketika mereka merapat di sisiku. Mereka melihat kecantikanku yang akan memudar lebih cepat dari tahun-tahun kehidupan mereka. Tetapi beda sekali, Dia melihat suatu keindahan pada diriku yang tak kunjung pudar dan saat hari-hari musim gugurku tiba, keindahan itu tetap segar kelihatan dan tak bercela.
Ketika tatapan-Nya berubah bagai fajar menghujam diriku, hidup baru meresapi tubuhku dan mengaliri sekujur nadiku. Ia berucap: “Datanglah kepada-Ku kalian yang letih lesu dan berbeban berat, Aku memberikan kelegaan kepadamu. Belajarlah pada-Ku karena Aku lembah lembut dan rendah hati.”
“Ingat Maria,” kata-Nya lanjut: “Aku mengasihi engkau demi dirimu sendiri dan mencintai apa yang tidak kelihatan dalam dirimu. Selamat menempuh hidup baru.”
Aku tersanjung sekali. Aku juga merasa mata-Nya laksana surya yang terbenam telah memancung “ular naga” dalam diriku, dan aku menjadi seorang wanita sempurna, menjadi Maria Magdalena yang sesungguhnya.
Misericordia Domini untuk Hidup Merdeka
Kisah hidup manusia seperti Maria Magdalena, berkisar antara kenikmatan dan nestapa, kesalehan dan dosa, kemenangan dan kalah, durhaka dan bahagia, serakah dan dermawan, setia dan seleweng, kemegahan dan kehinaan, belenggu dan kemerdekaan. Walau demikian, Maria telah menunjukkan dan membuktikan dimensi spiritualnya yang menyangkut, merdeka diri, merdeka kosmos dan merdeka transendental.
Semua itu ada karena semata Misericordia Domini (Belas kasih atau kasih setia Tuhan). Singkat kata, kisah Maria Magdalena melegitimasi pesan sabda Tuhan: “Aku datang tidak untuk dilayani melainkan untuk melayani dan mencari yang hilang. Menyembuhkan yang sakit dan membawakan hidup baru.” Aku memerdekakan kamu.”
Dimensi spiritual pertama, Merdeka Diri. Maria telah bebas dari duga dan prasangka atas jati dirinya yang sebenarnya. Ia menyadari keadaan dirinya dengan perilaku hidup lama yang suram sampai bergelar perempuan dengan tujuh roh jahat dan memiliki ular naga dalam laku hidup.
Ia telah menyadari kasih yang sebenarnya, dan tidak lagi mengumbar kemolekan fisik untuk orang berduit. Ia telah menunjukkan diri sebagai veronica (dalam arti sesungguhnya) yang membuat keindahan diri-Nya dikenang sebagai “Apostolo apostolic” (rasul dari segala rasul) penyaksi Kebangkitan. Jati diri baru sebagai Maria Magdalena dan kesaksian hidupnya membawa cahaya dan harapan bagi para pendosa yang bertobat.
Kedua, Merdeka Kosmos, yakni kesadaran bahwa lingkungan dan orang-orang yang mencemoohnya kini berbalik menerima dia. Misericordia Dominus telah mengubah pandangan lingkungan sekitarnya. Situasi hidup baru dialami Maria ketika Dominus mengucapkan: “Selamat Maria.” “Selamat menempuh hidup baru.”
Simon si kusta, para murid dan juga para pelayan dalam perjamuan itu berubah pola pikir dan ingin seperti Maria: “berbuat baik untuk Tuhan, mempersiapkan penguburan Tuhan. Dan ingat kata-katanya: “Di mana saja kabar ini diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukan Maria akan disebut juga untuk mengenangkan Tuhan – Dominus Deus.”
Ketiga, Merdeka Transendetal, terwujud dalam sikap dan kesadaran Maria yang telah dibangun sejak mengikuti khotbahNya di ziarah ke kota suci, di peristiwa penyembuhan dan berpuncak di rumah Simon si kusta. Perubahan hidup, moralitas hidup, pengalaman akan mukjizat penyembuhan menyadarkan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dihidupi oleh Tuhan dan pada harinya nanti akan kembali berlabuh pada Tuhan.
Atas kesadaran ini, ia bangkit dan harus merdeka dari belenggu perilaku moral tidak layak dipandang mata, kesaksisan hidup yang bertentangan ajaran budaya dan sikap spiritual masyarakat beragama.
Ia berbalik dari sikap menjatuhkan kehormatan para pejabat dan menjerumuskan nafsu para hartawan ke lembah sengsara karena ego iblis yang merasuk dirinya melalui harta kepada cinta kasih sejati. Mereka diajarkan untuk tahu diri dan tahu batas.
Merdeka transendental adalah merdeka secara spiritual yang telah mengharuskan Maria, kini dan sekarang dipanggil untuk berbuat baik, mengasihi sesama, mengolah alam lingkungan dengan cinta, mencegah kemungkaran dan mulai bekerja dengan iman dan harapan kepada-Nya dan seterusnya.
Totalitas ketiga kesadaran yang memerdekakan itu telah dibangun Maria dan berkembang melalui proses-proses penyadaan persepsional-rasional melalui pembelajaran dalam arti seluas-luasnya yang secara khusus memampukan manusia Maria untuk mengetahui apa yang benar dan salah, baik dan buruk serta adil dan batil. Mungkinkah bagi kita untuk selalu berjuang memerdekan diri, kosmos dan transendental? Salam Merdeka! *