GF Didinongsay, Pengamat Sosial, tinggal di Jakarta
TEMPUSDEI.ID (29 AGUSTUS 2021)
Carpe diem adalah sebuah satire tentang semangat dan cara hidup konsumtif para hedon penguasa. Mumpung berkuasa, nikmatilah kekuasaan itu sepuas-puasnya. Frasa carpe diem (nikmatilah hari ini) berkaitan dengan sikap dan perilaku yang melatari sebab musabab kelemahan dan keruntuhan sebuah kekaisaran sebesar Imperium Romawi ketika hancur diserbu oleh bangsa-bangsa barbar pada abad ke-5.
Film klasik Caligula atau Quo Vadis Domine cukup jelas melukiskan kerusakan moral kaisar bersama kaum aristokrat dan para elit bangsawan Romawi lainnya dalam kegilaan untuk berpesta pora sepanjang waktu di istana megah dan dilayani budak belian. Menikmati kereta kencana, jubah dan perhiasan mewah, menghibur diri dalam hura-hura pertarungan gladiator di arena colosseum, brutal melakukan intrik kudeta, bersenang-senang dalam pelampiasan nafsu syahwat sesuka hati, eksperimen seksual semau gue, ataupun kesenangan duniawi lainnya.
Ke mana gerangan keperkasaan Pretorian Romawi yang terkenal dengan semboyan vini vidi vici dan yang selama beberapa abad lamanya telah berhasil membangun kedigjayaan Pax Romana yang terbentang dari Britania, Eropa, Afrika, hingga Asia itu?
Pada puncak kejayaan Imperium Romawi, yaitu setelah memenangkan berbagai pertempuran dan peperangan penaklukan wilayah ataupun pemadaman pemberontakan, bala tentara Romawi dari tingkat prajurit hingga para jenderal ternyata mulai ikut pula terjebak dalam pola hedonisme kaum bangsawan yang pada gilirannya mengakibatkan dekadensi disiplin spartan dan militansi Romawi yang terkenal itu. Untuk senjata yang dimiliki, mereka mulai terima hadiah dan uang suapan. Lalu, bergaya hidup bak centeng pengawal penguasa.
Di dalam suatu kekuasaan atau kewenangan seperti yang dimiliki seorang Kaisar atau pemegang senjata tentu saja terkandung kewibawaan, dominasi, sekaligus kekuatan untuk mengatur dan menentukan. Namun, sebuah kekuasaan juga selalu saja membawa kecenderungan atau berpotensi penyimpangan oleh karena godaan nikmat kekuasaan. Dengan demikian, hedonisme carpe diem itu sesungguhnya setali tiga uang dengan korupsi, kolusi, nepotisme dan lain lain sebagaimana yang dikonstantir oleh Lord Acton.
Belajar Maklum
Dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini, media sosial mencatat berbagai fenomena kontroversial terkait kekuasaan yang dihadapi rakyat Provinsi NTT yang dipimpin oleh ViktoryJoss selaku gubernur.
Bahkan sudah sejak masa kampanye Pilgub NTT 2018, masyarakat NTT telah disuguhi berbagai hal extraordinary seperti kampanye besar besaran dengan logistik tanpa seri, infrastruktur mahal (jara tenge), janji politik nan bombastis, penampilan artis seronok dari Jakarta, dan lain lain. Hal-hal ini masih bisa diterima sebagai bagian dari marketing kekinian.
Selanjutnya, berbagai statement dan kata kata keras sang gubernur, membentak anggota DPRD provinsi, body language di Besipae, kebiasaan membalik cap topi di depan petinggi gereja, dan lain-lain kelakuan, itu pun bisa ditolerir sebagai personal style saja.
Demikian pula tanggapan umum terhadap berbagai hal pengelolaan kekuasaan oleh ViktoryJoss seperti kebijakan dan program kerja (sophia, kelor, kerapu, dan lain lain), peran dan fungsi pengelolaan anggaran oleh tim khusus gubernur yang diwarnai gosip masyarakat di Kupang terkait kooptasi, kolusi, nepotisme, sikap menyepelekan sekaligus lelet dalam penanganan Pandemi Covid-19 menyangkut simpang siur data Covid, dugaan perilaku ambil untung oknum gugus tugas Covid, perilaku berat sebelah Satpol PP, kisruh soal Lab Biomolekuler, diskresi pemulangan jenasah bupati Lembata yang terpapar Covid-19, terkesan alergi pada kritik dalam kasus namkak dan namfoeh, dan lain lain. Semua hal ini sebenarnya masih bisa dimaklumi sebagai konsekuensi demokrasi matematis. The winner takes all.
Kerumunan yang direncanakan
Namun, dugaan pelanggaran atas PPKM sebagaimana terjadi pada Kerumunan Semau yang dihadiri Gubernur dan pejabat pimpinan provinsi NTT maupun para bupati se-NTT, Jumat 27 Agustus 2021 itu perlu ditelisik secara mendalam dan serius oleh aparat penegak hukum. Ada potensi pelanggaran hukum di situ. Ini kerumuman yang disengaja atau direncanakan di masa PPKM yang peraturannya bahkan digariskan juga oleh pemerintah provinsi dan kabupaten sendiri.
Di negara hukum ini sudah ada iuris prundensi terkait pelanggaran protokol kesehatan di masa pandemi. Antara lain di Medan dan di Depok. Kasus kerumunan Petamburan Slipi memakan korban HRS.
Demi keadilan, bila ada pelanggaran, maka teguran ataupun sanksi administratif saja rasanya tidak cukup. Miris dan melukai perasaan, rakyat dirazia bahkan disiksa (kasus Sikka), tetapi para pejabat NTT asyik berpesta pantai. Bahkan peringatan Presiden Indonesia pun diabaikan.
Message dari Semau
Setingkat Gubernur dan Bupati tentu memiliki kesadaran dan persepsi yang sangat jelas tentang standar protokol kesehatan di masa pandemi. Kalau hanya pelaksanaan acara seremonial seperti di Semau kemarin tentu, mudah saja untuk dilakukan secara virtual tanpa mengurangi sedikitpun maksud dan tujuan utama kegiatan. Oleh karena itu berbagai asumsi spekulatif seperti motif kesengajaan, paksa diri, atau bandel untuk melanggar PPKM dapat saja muncul.
Kita tahu bahwa, dalam rangka suksesi nasional 2024 terdapat berbagai upaya sistematis untuk melemahkan bargaining position Jokowi sebagai aktor kunci terkait siapa penerusnya. Gagasan Jokowi 3 periode itu tidak lepas dari upaya ini. Jokowi dipancing untuk bereaksi terhadap isu tersebut. Bila Jokowi bersikap setuju dan mengakomodir amandemen konstitusi, maka berbagai isu akan digoreng agar rakyat membenci Jokowi sebagai demagog yang haus kekuasaan. Ingat bahwa isu ini pernah disuarakan pula dari NTT oleh orang orang sekitar VBL dengan tajuk referendum.
Selain menjabat sebagai gubernur NTT, VBL juga diketahui sebagai petinggi partai Nasdem.
Dengan Kerumunan Semau kemarin, kita boleh bertanya-tanya, apakah ini bentuk kritik Nasdem kepada kebijakan pandemi Jokowi? Apakah ini bagian dari strategi melemahkan Jokowi? Apakah Nasdem semakin berjarak dengan Jokowi, apalagi dengan rencana masuknya PAN dalam barisan koalisi pemerintah?
Atau kegiatan di Semau kemarin hanya sekadar ekspresi anak bandel membanggakan kampung halaman, carpe diem, dan onani kekuasaan belaka?