Refleksi atas maraknya fenomena “menghina agama lain” di NKRI
Oleh Simply da Flores, Alumnus STF Driyarkara
TEMPUSDEI.ID (29 AGUSTUS 2021)
Fenomena “Menghina Agama Lain” semakin subur dan marak di tanah air ini. Oknum umat dan atau tokoh agama Islam dan Kristen, paling marak melakukan hal tersebut. Bahkan terkesan “berlomba” saling menghina.
Pelakunya adalah mereka yang berpredikat sebagai “tokoh agama”. Sejumlah oknum yang menjadi tokoh di lingkungan agama barunya, melakukan publikasi pembahasan yang bersifat “menjelekkan – menghujat – menghina” agama lama, yang pernah dianut sebelumnya.
Mengapa fenomena tersebut ada di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air ini?
Beberapa Pikiran dan Hipotesis
Saya berpikir, fenomena ini ada konteks dan sejarahnya dalam kehadiran rumah kebangsaan NKRI. Sejarah bangsa Indonesia, sejak zaman kerajaan, terbangun di atas keanekaragaman suku bangsa, adat budaya di tanah air.
Dalam satu sisi, keanekaragaman – kehinekaan adalah berkah dan anugerah Sang Pencipta, agar saling melengkapi karena saling membutuhkan. Perbedaan itu bersifat alamiah dan kodrati, antar pribadi, antar suku, komunitas adat budaya, dan agama.
Di sisi yang lain, adalah soal cara pandang, kepentingan politik dan sikap pribadi dan kelompok elit, dalam kehidupan bernegara di NKRI.
Tujuh Hipotesis
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di wilayah NKRI, saya merefleksikan fenomena “menghina agama lain” yang marak, lalu menemukan dan mencatat beberapa hipotesis berikut.
Pertama, adanya keberlanjutan perbedaan ideologis sejak awal Proklamasi NKRI. Fakta sejarah ini terlihat dalam perbedaan antara dasar negara agama dan dasar negara sekular modern. Itulah yang dikenal dengan pembukaan UUD versi Piagam Jakarta dengan 7 kata yang berhubungan dengan syariat Islam dan yang tanpa tujuh kata – versi tokoh pluralis kebangsaan.
Karena NKRI adalah bangunan rumah politik, maka perbedaan itu pun tetap ada, lalu dinamika pertentangan berubah dari waktu ke waktu, dalam korelasinya dengan kepentingan tokoh elit politik serta kelompoknya.
Ketika akses kekuasaan dan distribusi manfaat politik tidak diperoleh atau sangat kecil, dalam roda kehidupan bernegara di NKRI, maka perbedaan ideologi bisa menjadi basis kekuatan perjuangan politik, baik individu maupun kelompok elit politisi.
Kedua, adanya pemanfaatan dan kerjasama kepentingan oleh elit politik, ekonomi dan agama. Kekuatan sosial budaya dengan dasar keagamaan, sudah terbangun di Nusantara sejak zaman Kerajaan sampai terbangunnya NKRI, karena melawan penjajahan asing, khususnya oleh Belanda 350 tahun.
Pengalaman sejarah menjadi guru kehidupan, bahwa politik untuk mendapat kekuasaan dan kepentingan ekonomi, sering disertai dengan kepentingan agama.
Teringat semboyan 3G: gold glory gospel dari Eropa, yang mencari koloni di berbagai benua. Juga kolaborasi antara para Raja, saudagar, armada perang dan mubaliq untuk merebut wilayah, berdagang sekaligus menyebarkan agama di Nusantara.
Sekarang dalam kehidupan bernegara di NKRI, tiga aspek ini semakin nampak: kerjasama elit politik, ekonomi, agama.
Ketiga komunikasi elegan dengan musyawarah kepentingan elit untuk distribusi manfaat yang adil kepada publik, menganulir berbagai konflik, termasuk antar ideologi dan agama.
Hal ini bisa terjadi, jika kualitas personal politisi dan partai politik di negara ini bisa diandalkan, karena sungguh disadari dan dijamin oleh parpol dan tokoh agama, lembaga sosial dan akademik, serta kaum pebisnis. Yang jadi masalah, jika terjadi perebutan kepentingan dan menggunakan agama sebagai alat politik.
Maka bisa terjadi, bahwa kekahawatiran Proklamator Bung Karno sedang menjadi kenyataan. “Perjuangan mengusir penjajah memang berat, tetapi jauh lebih berat jika berjuang menghadapi penjajah dari bangsa sendiri”. Lalu soal agama, “Kalau Kristen, jangan jadi orang Jahudi. Kalau Islam, jangan jadi orang Arab. Kalo Hindu, jangan jadi orang India. Tetaplah jadi orang Indonesia, dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini”.
Keempat, untuk kepentingan politik dan ekonomi, ada pihak yang menciptakan, memelihara dan menggunakan atribut agama, lalu membangun partai, organisasi kelompok radikal dan teroris, serta media-media pendukung keuangan dan informasi.
Dalam konteks ini, tidak saja lintas wilayah di Indonesia, melainkan mampu berjaringan dengan jaringan di luar NKRI. Berbagai kemudahan modern sangat mendukung hal tersebut.
Maka, saat ini bangsa dan NKRI kita, kebutuhan mendesaknya yakni sambil memperkuat ketahanan bangsa dan pertahanan internal, sekaligus dibutuhkan kerjasama lintas Negara, khusus untuk mencegah dan memberantas berbagai bentuk kejahatan yang mengancam keutuhan NKRI.
Kelima, penegakan hukum negara yang lemah, karena kualitas dan wibawa penegak hukum tidak punya supremasi, sangat tergantung pada patriotisme dan nasionalosme elit politik dan pejabat.
Fakta yang kita alami adalah maraknya KKN, lalu mengakar dan menjadi budaya, sehingga membuka ruang lebar untuk berbagai bentuk konflik sosial. Akarnya adalah akses kontrol dan distribusi manfaat penyelenggaraan NKRI tidak adil bagi rakyat.
Ada indikasi kuat, bahwa para elit yang berpesta dengan KKN, mengalihkan persoalan dengan mengadu rakyat berkelahi. Konflik, kekerasan dan kejahatan sosial jadi bisnis, sama seperti narkoba dan prostitusi.
Sangat memprihatinkan ketika atribut yang dipakai adalah agama. Bahkan “demi nama Allah dan kebenaran Ilahi”, agama lain dicap kafir dan najis, tempat ibadahnya pantas dirusak, Tuhan dan Kitab Sucinya dihujat, penganut agama lain diancam dibunuh – ada kasus yang dibunuh dan dibakar.
Pihak keamanan dan penegak hukum seperti tak berdaya, karena supremasi hukum kalah dengan kepentingan politik elit kekuasaan serta kroninya.
Keenam, soal pendidikan menjadi lemah dan belum berkualitas untuk membentuk kecerdasan dan kepribadian bangsa yang bermoral dan beradab.
Pendidikan keluarga di tingkat masyarakat umum sangat erat dengan kesejahteraan ekonomi keluarga yang bersangkutan. Pendidikan keluarga, belum tentu didukung oleh komunitas adat budaya dan agama, karena para tokoh dua lembaga penting ini sedang digerogoti oleh kekuatan politik dan bisnis para elit di NKRI.
Sistem Pendidikan Nasional terus berubah-ubah, karena tergantung kebijakan para elit politik dan anggarannya. Yang mengalami beban utama adalah orangtua, yang pada umumnya berkemampuan “Ekonomi Senin Kamis” alias miskin merana.
Anak-anak pejabat, elit politik, elit agama dan pebisnis mendapatkan pendidik bagus di dalam negeri atau di luar NKRI; namun setelah berhasil, mereka umumnya bukan untuk membangun kesejahteraan sosial bangsa, melainkan melanggengkan KKN orangtuanya.
Maka, jika pendidikan sudah jadi lahan bisnis, sangat sulit diharapkan bangsa ini cerdas, kepribadian berbudaya, beradab, berakhlak mulia dan beriman taqwa. Hasilnya berbeda, antara lain, KKN, orang saling menghina antara agama, karena pindah agama pun sudah lumrah, bahkan membanggakan.
Benteng moral dan iman rusak, karena dirusak kaum elit politik, bisnis, orgaisasi agama dengan KKN, demi kebahagiaan mereka di wilayah NKRI ini.
Kaum Elit bangsa justru menjajah saudara sendiri, mereka kini saling berkelahi dengan mengadu masyarakat saling bermusuhan dan saling membunuh termasuk dengan atribut agama.
Ketujuh, Reformasi dan Revolusi kebijakan pengelolaan negara yang lebih baik sesuai cita-cita Proklamasi, oleh pihak yang baik dan bersih dengan kerja dan hasil jelas. Hal itu pasti dibenci, dicap jahat dan tidak berguna oleh semua yang sudah dan sedang menikmati kelimpahan manfaat KKN selama ini.
Maka tameng agama yang sudah diciptakan dan dipelihara, pasti akan digunakan semaksimal mungkin, dengan dukungan dana dan sarana yang berkelanjutan. Berbagai kasus yang terjadi hingga kini, dan publikasi media sosial yang semakin marak, memberi penjelasan yang memadai. Misalnya demo yang digelar untuk dukungan atau perlawanan politik oleh kelompok ekstrimis, upaya hukum untuk mengubah ideologi bangsa, serta deklarasi dan publikasi mendirikan ideologi baru di NKRI.
Pengerahan massa beratribut agama untuk membela koruptor serta tokoh radikal dan teroris di proses pengadilan.
Catatan dan Harapan
Dengan beberapa pikiran di atas, saya berpendapat bahwa dalam rumah NKRI, ada Bangunan Piramida di bidang Ipoleksosbudhankam di atas realitas Bhineka Tunggal Ika bangsa Indonesia.
Bangunan Piramida yang terbagi pada tiga kelas, dalam semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di wilayah NKRI tercinta.
Ada kelas elit, kelas menengah dan kelas bawah – yakni mayoritas anak bangsa – warga NKRI.
Kelas elit politik, bisnis dan agama bersatu untuk membuat sistem dan kebijakan pengelolaan NKRI. Jika antara mereka ada konflik kepentingan dan selisih berbagi manfaat, maka kelas menengah dimanfaatkan untuk melakukan berbagai tindak perlawanan dan kejahatan, sebagai daya tawar elit politik yang tersisih. Kelas bawah, mayoritas rakyat Indonesia, yang umumnya sederhana – miskin dan bodoh, dikendalikan kelompok kelas menengah, untuk melayani kepentingan kelas elit, dalam konstruksi Bangunan Piramida kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Oposisi politik dalam bernegara bergeser hakikatnya, dari demi Res-publika atau kepentingan rakyat bangsa NKRI, kepada kepentingan elit politik yang tersisih dalam mendapat kekuasaan dan manfaat ekonomis.
Bangunan Piramida ini ada basis sosial dan kulturalnya dalam khasanah historis bangsa Nusantara, sejak zaman Kerajaan.
Dalam organisasi adat dan keagamaan pun, ada Bangunan Piramida tersebut dengan dasar spiritualitas sakral.
Ketika perjuangan mengisi kemerdekaan NKRI, kelihatan jelas bahwa ada semacam “kreativitas singkretisasi”. Para elit politik, membuat percampuran antara warisan sosial budaya Nusantara dengan politik modern di berbagai negara asing. Simpul dan sentralnya adalah kepentingan kekuasaan, harta dan kenikmatan individu dan kelompok.
Hemat saya, fenomena “saling menghina antar agama” yang terjadi semakin subur dan marak di negeri ini hanyalah bungkus dari Bangunan Piramida multi dimensi dalam dinamika NKRI.
Kita bisa ingat kasus Pilgub DKI, Pemilukada di berbagai daerah serta Pileg dan Pilpres yang lalu. Pengerahan dan pemanfaatan atribut Adat dan agama sangat dominan. Faktor kemenangan calon adalah tujuan utama. Program dan komitmen untuk kepentingan publik, tujuan dan prinsip ber-negara, hanyalah janji angin surga.
Maka, semboyan Bhinneka Tunggal Ika pada dada Garuda Pancasila, Ideologi Negara Pancasila, cita-cita Proklamasi serta tujuan berdirinya NKRI semakin “kreatif” diabaikan. Kedaulatan Rakyat Indonesia dan Demokrasi, menjadi sebuah perjuangan berat yang dihadapi bangsa dan negara kita saat ini dan ke depan.
Semoga dengan adanya pandemi Covid-19, juga berbagai bencana yang telah dihadapi, serta pembelajaran dari banyak pengalaman negara lain di dunia, kita seluruh rakyat NKRI mendapat pencerahan untuk memperbarui diri menjadi lebih baik.
Kita butuh teladan perubahan dari para elit politik, agama dan budaya serta berbagai bidang lain, untuk membangun dan mengisi kemerdekaan NKRI, dengan semakin bijaksana dan bertanggungjawab; karena cerdas, bermoral, beradab, berakhlak mulia dan beriman taqwa.
Ini berarti KKN segera sirna, supremasi hukum menjadi panglima, kesehatan dan pendidikan tidak diperdagangkan, anggaran pembangunan tidak dikorupsi, distribusi manfaat bagi kesejahteraan rakyat semakin meningkat, akses dan kontrol publik dijamin hukum, serta pejabat dan aparatur sipil negara makin berwibawa.
Pada saat itu, Bangunan Piramida berubah menjadi tiang-tiang kokoh yang menopang kepentingan segenap rakyat Indonesia – yang Bhineka Tunggal Ika dalam rumah kebangsaan NKRI.
Jika semua ini terjadi, maka patriotisme dan nasionalisme segenap rakyat semakin kokoh. Res-publika terlaksana dan demokrasi terjamin; di mana rakyat adalah pemilik kedaulatan tertinggi di NKRI ini. Aneka konflik, termasuk penghinaan dan permusuhan atas nama agama, segera berhenti dan musnah. NKRI semakin tumbuh kuat dan tangguh karena rakyat semakin sejahtera. Itu karena rakyat diabdi oleh segenap pejabat negara; sebagaimana sumpah jabatan yang mereka nyatakan.