Fri. Nov 22nd, 2024

Yoseph Umarhadi, MSi: Soekarno Tidak Merumuskan Pancasila

Joseph Umarhadi (ist)

TEMPUSDEI.ID (30 AGUSTUS 2021)

Ketika memaparkan disertasinya berjudul “Komparasi Pandangan Notonagoro dan Drijarkara Mengenai Filsafat Pancasila dan Relevansinya Bagi Pengembangan Demokrasi Indonesia” pada Ujian Terbuka untuk memperoleh gelar doktor bidang ilmu Filsafat di Ruang Sidang “Persatuan” Lantai 3, Gedung Notonagoro Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Senin (30/08/2021) Joseph Umarhadi mengatakan bahwa Pancasila tidak dirumuskan dari ketiadaan (ex nihilo). Katanya, Pancasila telah dirumuskan dalam sejarah masyarakat sebagai bagian dari sejarah dan perkembangan masyarakat. Soekarno sendiri, tambah Yoseph, tidak merumuskan Pancasila, melainkan menemukannya dengan menggali sejarah dan kehidupan masa lampau Bangsa Indonesia hingga jauh sebelum masa pra hindu (ribuan tahun lalu).

Nilai-nilai, seperti Percaya Kepada Dzat Yang Maha Esa sebagai Sangkan Paraning Dumadi (Causa Prima), Kesadaran Sebagai Ciptaan Allah yang bermartabat karena itu perlu saling menghormati dengan semangat tepo seliro, gotong-royonng, sopan santun, kesadaran akan keragaman dan keinginan untuk besatu dalam keragaman (Bhineka Tunggal Ika Dan Sumpah Pemuda), kesadaran untuk bermusyawarah untuk mencapai mufakat demi kesejahteraan kersama dijadikan pedoman dan keyakinan yang diakui kebenarannya bagi bangsa dalam menghadapi persoalan kehidupan baik dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, diri sendiri dan lingkungan demi mencapai kesejahteraan lahir dan batin sudah menjadi pengikat pergaulan antaranggota masyarakat zaman lampau.

Nilai-nilai ini secara diam-diam, kata Yoseph, menjadi pola dan norma kehidupan yang ditaati sehingga masing-masing anggota masyarakat berusaha untuk menghormatinya, menjunjung tinggi, serta berusaha mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. “Jadi, dimunculkannya Pancasila sebagai dasar filsafat bukanlah sebuah kebetulan yang diciptakan secara rasional. Ini sudah mengakar di hati Bangsa Indonesia sejak dulu. Nilai-nilai ini diabstraksikan dari pengalaman multi etnis multi kultural yang hidup zaman dahulu sebagai pedoman untuk menghadapai persoalan hidup,”terang Yoseph.

Nilai-nilai dasar itu kemudian disarikan atau dipadatkan menjadi dasar bagi terbentuknya negara Republik Indinesia dan tertuang dalam TAP XX/MPRS/1966. Proses perumusan Pancasila, kata Yoseph, yang mulai dibahas dalam sidang BPUPKI pertama (29 Mei-1 Juni 1945) dan sidang panitia sembilan yang menghasilkan PIAGAM JAKARTA (22 juni), sidang PPKI (18 agustus) yang menjadikannya sebagai dasar filsafat negara. Para waktu itu, tujuan dirumuskan Pancasila adalah agar bisa dijadikan dasar negara. Ini adalah dasar fundamental karena tidak bisa diubah oleh siapapun. Artinya, nilai-nilai tersebut bersifat absolut.

“Pancasila menjadi dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara dan warga negara. Rumusan sila-sila itu dalam hukum positif Indonesia secara yuridis konstitusional sah berlaku, dan mengikat untuk seluruh lembaga negara, lembaga masyarakat, dan setiap warga negara tanpa kecuali. (Buku Empat Pilar MPR RI).”ujar Yoseph

Dan sebagai sebuah ideologi, kata Yoseph, Pancasila merupakan sistem kehidupan nasional yang meliputi aspek etika/moral, politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan keamanan demi mencapai cita-cita dan tujuan bangsa yang berlandaskan dasar negara. Keseluruhan sistem ide yang secara normatif memberikan persepsi, landasan serta pedoman tingkat laku bagi seseorang atau masyarakat dalam seluruh kehidupannya dan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Berdasar Demokrasi Pancasila

Dengan demikian, bila diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menurut Yoseph, Pancasila yang terinternalisasi dengan tepat dan benar dalam diri masing-masing warga Bangsa dan Negara Indonesia menjadi dasar kuat yang mampu menyatukan seluruh perbedaan yang dimiliki Indonesia. Juga mampu menyelesaikan berbagai persoalan. “Entah itu persoalan pandemi, radikalisme, dan persoalan-persoalan lain,”ujar politikus yang mengawali kariernya sebagai guru di Sekolah Tinggi Agama di Tual, Maluku.

Berbagai persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang terjadi selama beberapa dekade ini menggelisahkan Yoseph Umarhadi sebagai seorang warga negara yang sekaligus anggota partai politik dan DPR dengan latar belakang pendidikan Filsafat dan Teologi. “Terutama dengan perkembangan demokrasi di Indonesia yang seharusnya kita jalankan berdasar Demokrasi Pancasila. Sayang, justru yang selama ini berjalan adalah demokrasi yang disandera oleh oligarki,”ujar mantan wartawan Harian Kompas ini.

Sekelompok elite yang memiliki sumber daya ekonomi yang kemudian menguasai demokrasi sedemikian besar rakyat Indonesia ini, menurut Yoseph mengancam eksistensi demokrasi yang bersandar pada Pancasila. “Oligarki itu anak cucu paham Liberalisme, Individualisme dan tidak berbeda dengan Kapitalisme. Aliran-aliran inilah adalah anak cucu dari aliran Rasionalisme.

Di sisi lain, ketika Sosialisme sebagai aliran yang kontra Liberalisme muncul, kata Yoseph, muncullah Komunisme dan Materialisme. “Itulah kenapa, pendiri bangsa ini tidak menjadikan Liberalisme atau Sosialisme sebagai dasar membentuk negara ini. Mereka tidak memilih Liberalisme maupun Sosialisme, melainkan mengangkat Pancasila sebagai dasar filsafatnya (philosophische grondslag),”ujar Yoseph.

Maka, ketika Pancasila selama beberapa dekade ini seolah ditinggalkan atau tidak pernah disentuh, baik dalam ruang sekolah maupun ranah organisasi masyarakat, dan bidang lain, Yoseph merasa termotivasi untuk mengembalikannya kembali pada arah yang sesuai tujuan awal. “Apalagi politik identitas dan pragmatisme beberapa tahun belakangan ini menjadi semakin menguat selain warna demokrasi oligarki (kapitalisme) yang mengental,”tegas Yoseph.

Menurut Yoseph, demokrasi yang kita jalankan semestinya merupakan Demokrasi Pancasila yang berlandaskan pada Filsafat Pancasila. Demokrasi Pancasila, berdasar pada sila keempat Pancasila (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan).

Sila keempat ini menyatakan, sebagaimana dikemukakan Soekarno, kata Yoseph, bahwa segala sesuatu tentang hidup bersama harus didasarkan pada kekeluargaan, demokrasi, kedaulatan rakyat sehingga dalam alam pikiran kita, kejiwaan kita, demokrasi bukan sekadar alat teknis melainkan sebuah keyakinan. “Demokrasi Pancasila bukanlah demokrasi yang dianut bangsa-bangsa lain melainkan demokrasi yang didasarkan pada kepribadian bangsa yang mengedepankan musyawarah mufakat,”ujar Yoseph.

Selanjutnya, demokrasi ini dijiwai oleh moralitas sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab). Berprinsip pada sila ketiga (Persatuan Indonesia) serta bermuara atau bertujuan pada sila kelima, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. “Itulah Demokrasi Pancasila yang benar,”ujar Yoseph menegaskan.

Selama ini, kata Yoseph, demokrasi tersandera oleh berbagai kepentingan pribadi yang cenderung menjadikan sesama manusia yang lain sebagai obyek. Padahal, kata Yoseph, pemahaman eksistensialismenya tentang kodrat manusia sebagai subyek (persona) yang hidup bersama subyek lain dalam cinta kasih (liebendes mitsein) yang diungkap Driyarkara jelas. Manusia pancasila dalam menjalankan demokrasi harus menunjukkan sikap dan perilaku yang dituntut oleh sila-sila pancasila. Perwujudan konkret hubungan antar subyek yang dilandasi cinta kasih itu  yang paling mendasar adalah keadilan pada seluruh bidang kehidupan. Cinta kasih tanpa keadilan bukanlah cinta kasih. Keadilan adalah cermin hubungan subyek dengan subyek, bukan subyek dengan obyek. (tD/*)

Related Post

Leave a Reply