Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
TEMPUSDEI.ID (12 SEPTEMBER 2021)
Di New Jersey, Amerika Serikat, di sebuah bukit berdiri sebuah gereja kecil. Pada dinding gereja itu ada sebuah salib batu besar yg ditempelkan masuk ke dalam dinding. Suatu ketika seorang kaya datang dan tidak suka melihat salib pada dinding gereja. Dia mengatakan salib itu mengganggu pemandangan. Dia menawarkan kepada gereja sumbangan uang dalam jumlah besar agar salib itu dikeluarkan dan ditempatkan di sebuah kotak kaca.
Ketika dia mengajukan ide itu, dewan paroki menjawabnya: Kami tidak dapat melakukan permintaanmu. Arsitek gereja ini sudah merancang sedemikian rupa agar gereja itu berdiri dengan salib di dindingnya. Salib itu memberi kekuatan pada dinding.Jika anda mengeluarkan salib itu lalu kekuatan penopang gereja jadi berkurang dan gereja bisa roboh. Mengeluarkan salib berarti menghancurkan gereja”.
Kata-kata Yesus dalam Injil hari ini berbunyi demikian; “Setiap orang yang mau datang kepadaku, dia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku”. (Mark 8,34).
Orang Yahudi memiliki tradisi kuat akan konsep penderitaan atau pengorbanan diri sebagai sesuatu yang punya efek menyelamatkan. Hal ini terutama terjadi pada para pemimpin agama mereka.
Karena itu ketika Yesus menubuatkan takdir hidup-Nya yang diwarnai penderitaan lalu Petrus menolak, Yesus benar-benar marah. Dia dianggap setan yang bukan hanya menolak rencana Allah tapi juga tidak tahu ajaran agama.
Dalam perkembangan selanjutnya agama Kristen lalu menjadikan diri Yesus dengan salib-Nya sebagai pusat penyelamatan. Memikul salib seperti Yesus berarti selamat.
Hidup bagi orang Kristen seperti sudah ditakdirkan bagai gereja kecil di atas yang di dalam dindingnya ada salib. Dengan kata lain, penderitaan dan dukacita adalah bagian dari hidup. Tak ada yang dapat menghindarinya.
Akan tetapi salib itu tidak semata-mata untuk menyakiti melainkan juga untuk menopang. Tanpa salib atau tanpa penderitaan dan kesulitan hidup orang kristen bisa mudah roboh atau tumbang.
Yesus juga berkata: “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena aku dan karena Injil akan menyelamatkannya”.
Artinya hal penting dalam hidup bukan penderitaan dan dukacita itu sendiri melainkan “Bagaimana kita bersikap atasnya”. Apa yang kita buat dengan penderitaan dan dukacita itu.
Mungkin kita tak bisa menghindarinya. Akan tetapi kita bisa melakukan sesuatu dengan semua pengalaman pahit dalam hidup kita. Menghadapi dengan semangat membangun, bukan merusak. Kita menghadapi pengalaman ini dengan semangat untuk hidup, bukan kematian.
Golda Meir, pada masa mudanya merasa depresi dan tertekan berat karena dia tidak cantik. Pada suatu ketika dia menulis begini: “Lama baru saya menyadari bahwa tidak cantik merupakan rahmat terselubung. Hal itu memaksa saya untuk mengembangkan sumber-sumber dalam diri saya. Pada akhirnya saya mengerti bahwa wanita yang tidak bersandar pada kecantikannya (harus bekerja keras) memiliki keuntungan”.
Dengan kata lain, dia menerima salibnya. Dia tidak menangisi nasibnya. Dia tidak menyesalinya. Dia mengakuinya, mengambilnya dan membawanya dengan berani.
Itulah yang membuat dia menjadi Perdana Menteri Wanita pertama di Israel.
Oscar Wilde, berangkat dari pengalaman pahitnya di penjara, menulis sebaris ungkapan puitis: “Di mana ada dukacita, di situ ada ruang kudus”.
Dukacita memberi kita kesempatan untuk menyadari kehadiran Allah yang meneguhkan.
Beban yang berat memberi kita peluang untuk mengundang Allah membantu kita memikulnya.
Penderitaan dan dukacita seringkali digunakan Tuhan untuk membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik: menjadi lebih sabar, rendah hati, hangat, berbelarasa, dan lebih mudah memahami.
Penderitaan dan dukacita dapat membuka mata kita akan hidup yang lebih kaya dan lebih indah, mungkin lebih daripada yang pernah kita impikan. Penderitaan bisa membuat hidup kita juga lebih kokoh dan tegar.
Jadikanlah salib bagian dari dinding hidupmu!
Salam hangat dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba, NTT