Simply da Flores, Anak kampung Pulau Naga – Flores
TEMPUSDEI.ID (14 SEPTEMBER 2021)
Peristiwa Yesus dihukum Pilatus – penguasa Romawi di tanah Yudea sekitar 2000 tahun yang lalu, adalah fakta sejarah. Sebuah hukuman keji dan hina bagi penjahat.
Yesus dan kedua penjahat yang disalibkan bersama Dia, memang diperlakukan sebagai penjahat oleh para algojo dan sorak-sorai semua yang menghendaki Yesus harus mati, hilang lenyap dengan cara demikian; dari Yerusalem sampai Golgota.
Mengapa sejak saat itu, hingga sekarang, dan mungkin sepanjang masa, salib dan Yesus dihina, dicaci maki dan dihujat?
Penghinaan zaman now yang masih teringat, yakni ujaran ini, “di salib itu ada jin kafir”. Juga ada kasus, salib pada kuburan dirusak dan dihancurkan. Mengapa demikian ?
Sejarah Salib dan Salib Yesus
Pada mulanya, salib – kayu palang itu memang penghinaan. Penghinaan martabat manusia, yang dijatuhi hukuman mati di atas salib itu. Penghinaan itu dilakukan oleh penguasa Romawi zaman dulu, sebelum Masehi, bagi warga masyarakat yang diyakini penguasa, bahwa pantas dan harus dihukum mati.
Kayu palang salib itu hina, derita lara, darah mengucur, jiwa melayang bagi yang terhukum. Tetapi itulah kebenaran, kehebatan dan keadilan bagi Sang Penguasa Romawi dan algojonya saat itu.
Pada kayu palang salib itu juga, Sang Pemuda Yesus, putra Maria dari Nazareth, dihukum Pilatus – Penguasa Romawi di tanah Yudea.
Salib dan Yesus menjadi identik, dan sebuah Revolusi Peradaban hingga kini. Tahun Masehi, kekristenan berkembang ke seluruh dunia, ajaran dan pengikut Yesus terus bertambah.
Oleh para Rasul dan murid-murid Yesus, peristiwa penyaliban Yesus, bukanlah penghinaan dan hal yang memalukan. Justru sebaliknya, dibanggakan, dipercaya, dijadikan kekuatan dan sumber hidup, sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Kesaksian hidup dan iman para saksi mata, pengikut Yesus, yang tersalib itu.
Yesus itu wafat, dikuburkan dan bangkit dari mati. Lalu memberikan kesaksian diri-Nya, Sabda-Nya dan amanat, agar mewartakan Sabda-Nya kepada segala bangsa di dunia.
Pada kayu palang hina – salib tempat menghukum penjahat, telah dilakukan Revolusi Allah Maha Cinta, Maha Rahim dan Maha Misteri.
Cinta Allah sempurna tak bertepi, maka mengutus Yesus, Sang Sabda datang menyelamatkan manusia. Allah Maha Rahim membasuh dosa manusia, dengan darah Yesus yang mengucur dari Yerusalem ke Golgota, darah dan air yang tertumpah dari lambung-Nya, pada salib di Golgota. Pilihan Allah menebus dosa semua manusia dengan cara kematian tragis Putra-Nya, Sabda Allah sendiri, melalui Jalan Salib, adalah misteri bagi pikiran manusia yang terbatas. “Hanya iman yang menolong budi, indera tak mencukupi”.
Dalam sejarah kekristenan, ada aneka bentuk dan bahan untuk mengenang Salib Yesus. Ada yang menggunakan corpus Yesus pada salib, ada yang tidak. Berbagai tulisan, sharing pengalaman iman, rumusan doa dan devosi, juga kajian teologis berhubungan dengan Salib Yesus.
Dalam gereja Katolik, tanggal 14 September dijadikan hari perayaan dan pesta iman untuk Salib Kudus Yesus itu. Pesta Salib Suci. Perayaan ini sejak 14 September tahun 335, sehubungan dengan penemuan dan penyerahan “salib asli Yesus” oleh Santa Helena, ibu Kaisar Konstantinus Agung.
Yang Percaya dan yang Menghujat Salib Yesus
Bagi yang percaya salib Yesus, urusannya jelas. Karena menyangkut iman kepercayaan, maka Salib dan Yesus adalah sebuah kesatuan utuh. Tidak saja peristiwanya, materialnya, melainkan menyatu dengan makna sakral dalam Salib dan Pribadi Yesus yang disalibkan. Yesus disalibkan demi keselamatan semua umat manusia. Tetapi, tidak semua orang yang percaya kepadaNya.
Jumlah pengikut Yesus, manusia yang mengagungkan salib dan mengimani Yesus tersalib itu sebagai “Juru Selamat-ku”, berkembang pesat sejak awal hingga sekarang di seluruh dunia. Mengapa pada kayu salib hina dan Yesus, penjahat yang disalibkan dulu, miliaran manusia mau percaya dan mengimani sebagai Juru Selamat? Jika itu ketidakwarasan dan kebodohan, mengapa jumlah yang percaya turun temurun, beranak, pinak hingga zaman ini – abad 21? Apakah ini kegilaan mondial dan kebodohan global?
Bagi mereka yang menghujat, ya jelas juga, karena memang tidak percaya. Zaman now, ketika begitu banyak sarana informasi, diandaikan bahwa mereka yang tidak percaya pun bisa gampang mengakses informasi tentang sejarah salib dan Yesus. Ada fakta, bahwa yang menghina, menghujat, mengutuk, memusuhi Salib dan Yesus adalah orang terpelajar, bahkan tokoh agama.
Maka, menurut saya, persoalannya adalah bukan pada kekurangan informasi dan pengetahuan tentang sejarah fakta Yesus dan salibNya.
Kemungkinan terdekat, bisa diduga, adalah soal kepentingan dan manfaat bagi pihak pelaku penghujatan terhadap Salib dan Yesus.
Ada tiga unsur yang mungkin menjadi ancaman dan alasan penghujatan tersebut.
Pertama, sosok pribadi Yesus dan ajaran-Nya. Yesus dirasakan menjadi batu sandungan, ancaman bagi keberadaan kaum penghujat dengan segala kepentingan manfaat yang diupayakan mereka. Yesus dan ajaran-Nya menjadi gugatan dan sumber bencana bagi cara hidup dan ajaran yang dihidupi para penghujat. Aneh, tapi nyata, Yesus historis kan sudah berlalu tempo dulu, cuma seorang pemuda kampung yang sahaja dari Nazareth. Koq ditakuti ?
Kedua, simbol Salib – kayu palang yang diimani dan diagungkan umat Kristiani hingga sekarang. Apa kehebatan simbol itu, yang mengancam dan menggangu para penghujat, sehingga harus dihina dan dihancurkan? Sementara fakta, bahwa simbol salib bisa dijumpai di mana-mana, bahkan dalam rumah penghujat dan alat yang digunakannya sehari-hari. Ironis. Ibarat ikan protes kepada air, tempat hidupnya. Manusia protes dan menghujat bumi tanah, karena pernah injak lumpur di jalan.
Ketiga, kehadiran orang Kristiani dengan seluruh hidupnya, organisasi keagamaannya dan sarananya. Karena kehadiran dan kehidupan orang Kristiani dirasakan sebagai ancaman, kendala dan sumber bencana bagi para penghujat untuk mendapatkan kepentingannya, maka Salib dan Yesus menjadi sasaran serangan hujat caci maki dan permusuhan.
Pada tataran ini, jika benar, maka sangat bisa dimaklumi para penghujat itu. Perbedaan kepentingan, cara pandang, prinsip dan tujuan hidup menjadi rujukan utama cara hidup dan pola tingkah kaum penghujat. Ada perbedaan pengetahuan, kebijaksanaan, ketrampilan, sumber daya pemenuhan kebutuhan, organisasi keagamaan dan tradisi iman.
Menurut Lao Tse, cara berpikir sangat menentukan kata-kata yang diucapkan. Kata-kata memengaruhi perbuatan, perbuatan bisa menjadi kebiasaan, kebiasaan membentuk karakter, karakter menentukan cara dan tujuan hidup.
Menurut saya, sejalan dengan pesan bijak Lao Tze, sejarah mengajarkan bahwa keluarga dan tradisi budaya, di dalamnya ada tradisi iman kepercayaan, sangat berpengaruh dalam kehidupan pribadi dan kelompok manusia.
Yang paling keras pengaruhnya adalah tradisi atas dasar keimanan dan kebenaran agama, yang dimutlakkan secara radikal. Maka, fakta realitas di luar diri – kelompok, semuanya ditolak, dibenci, dihujat, dimusuhi, dan harus dihancurkan. Juga dengan alasan iman dan kebenaran sakral, bahkan atas nama dan perintah Allah Sang Maha Suci. Dan model yang demikian, juga dipakai dalam merebut kepentingan kekuasaan politik, ekonomi dan prestise sosial. Agama dijadikan alat untuk kehidupan pragmatis.
Dengan cara berpikir ini, saya mulai memahami adanya penghinaan terhadap Salib Yesus, seperti hujatan “di salib ada jin kafir”.
Memahami dengan Doa dan Cinta Kasih
Ajaran Yesus, (yang dihujat dan dimusuhi salib-Nya) bahwa hukum tertinggi adalah Cinta Kasih. Mencintai Allah dengan segenap hati, akal budi dan jiwa raga. Sama dengan perintah itu, yakni mencintai sesama manusia seperti diri sendiri. Karena itu, cinta kasih menembus dan melampaui batas sosial budaya, agama kepercayaan dan sekat apa pun; karena hakikat realitas peradaban manusia memang beraneka pribadi, suku bangsa, agama budaya dan wilayah tempat tinggal.
Ada keistimewaan ajaran Yesus, pelaksanaan dari hukum cinta kasih, yaitu mengasihi musuh dan berdoa bagi yang orang yang menganiaya diri kita. “Di tampar pipi kanan, berilah juga pipi kirimu.”
Ajaran Yesus itu, bukan kata-kata hampa belaka; tetapi kata dan teladan perbuatan-Nya. Ketika Petrus menebas telinga Malkus di Taman Zaitun, demi membela Yesus, justru Petrus ditegur. “Sarungkan pedangmu,” kata yesus lalu mengambil telinga yang putus, menempelkan kembali pada tempatnya. Yesus peduli justru pada orang yang mau menangkap-Nya.
Sepanjang penyiksaan, diadili dan memikul salibNya, Yesus tidak menggunakan kesaktian kuasa-Nya untuk membela diri.
Dan di atas salib, kayu palang hina dina, ketika sedang berdarah menderita menjelang wafat, Yesus buktikan ajaran-Nya. Doa Yesus untuk para algojo dan penguasa yang menghukum mati diri-Nya. “Ya Allah Bapa-Ku, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”.
Sekali lagi, ini dilakukan Yesus yang sedang menderita di atas kayu palang salib itu, di Golgota. Didengar dan disaksikan para algojo, orang Yahudi, juga Ibu-Nya dan beberapa saudara serta murid terkasih-Nya, Yohanes.
Jika demikian ajaran dan teladan Yesus di Salib, apakah para pengikut yang percaya kepada-Nya harus melakukan yang berbeda kepada para penghujat? Apakah yang harus diperbuat kepada para penghujat dan yang memusuhi Yesus dan salib-Nya?
Semoga dengan bantuan Rahmat Yesus, kita semua umat Kristiani bisa memahami, mengampuni dan mendoakan para penghujat Yesus dan Salib kudus-Nya.
Yesus masih memikul salib-Nya sampai akhir zaman, darah Kudus-Nya terus mengalir membasuh jiwa manusia yang mau bertobat, dan doa pengampunan-Nya masih bergema dari atas salib bagi algojo penghujat yang menyalibkan-Nya setiap hari. Dan janji Yesus, “Aku senantiasa menyertai kalian sampai akhir zaman”.
Terpujilah Salib Kudus Yesus, Yesus Sang Raja Cinta Kasih dan samudera kerahiman abadi Allah.