Fri. Nov 22nd, 2024

Upaya Konkret Gereja-gereja di Papua Membangun Paradigma Inklusif

Terlibat, demi Paua yang damai dan sejahtera.
Para peserta serius berdidkusi.

JAYAPURA, TEMPUSDEI.ID (20 SEPTEMBER 2021)

Untuk membangun paradigma inklusif menuju Papua damai dan sejahtera, Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII) bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) dan Persekutuan Gereja-gereja di Papua (PGGP) mengadakan Pelatihan Membangun Paradigma Inklusif (MPI): Papua Damai, Papua Sejahtera. Pelatihan tersebut diadakan di Ruang Sentani & Baliem Swiss-Bell Hotel Jayapura, Papua (13-17/9).

Pelatihan diikuti 17 peserta dari Bala Keselamatan, PGI, PGLII, PGPI, dan Gereja Katolik. PGI mengutus peserta dari GPI Tanah Papua dan GKI Tanah Papua. Begitu juga PGPI yang antara lain mengutus peserta dari Gereja Pantekosta di Papua. PGLII mengutus peserta dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Terdapat juga utusan dari Gereja Baptis, STAKPN Sentani dan STT Levinus Rumaseb.

Menurut Ketua Panitia yang juga Ketua III PP PGLII Pdt. Deddy Andi Madong, SH., MA., MPI adalah sarana dan upaya untuk mengembangkan paradigma inklusif yang memungkinkan gereja saling memahami, saling bekerjasama sehingga tercipta harmoni dan persaudaraan yang rukun untuk Papua Damai dan Sejahtera.

Sedangkan Faith and Development Manajer WVI Dr. Anil Dawan M.Th., mengatakan bahwa saat ini masyarakat tersekat-sekat dalam sikap eksklusif, dan ini tidak nyaman untuk kehidupan bersama. Oleh karena itu upaya menumbuhkan sikap inklusif sangat penting. “Kita ada di sekitar kehidupan yang tersekat-sekat oleh suku, agama, ras dan antar golongan. Eksklusifitas merebak di mana-mana. Segregasi sosial terjadi di banyak lapisan masyarakat. Di kalangan kekristenan sendiri, berbagai macam denominasi dengan theologinya sendiri-sendiri. Realitas antar gereja juga kadang bukan berpadu, bersatu, namun masih saja saling ‘beradu’ satu dengan lainnya,” beber Anil.

Membangun keakraban di sela-sela pelatihan

Pada pelatihan, fasilitator mempersiapkan dan melatih peserta  untuk memahami tanda-tanda Kerajaan Allah dan meneladani Yesus dalam berelasi dengan orang lain.

Refleksi yang dilakukan setiap hari mengingatkan akan panggilan bahwa Gereja sebagai agen Kerajaan Allah, seharusnya meneladani Yesus Kristus untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di tengah masyarakat dan dunia di mana gereja berada, khususnya di Tanah Papua.

Tiga tokoh Papua, yakni Pastor John Djonga, Pdt. Lipiyus Biniluk dan Pdt. James Wambrauw menyampaikan refleksi-refleksi yang mengarahkan pada peran dan panggilan gereja untuk berorientasi pada manusia dan kesejahteraannya, dan bagaimana membumikan berita mimbar menjadi aksi konkret di tengah jemaat dan masyarakat. Misi meneladani Yesus Kristus menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah demi pulihnya hubungan, terciptanya kesehatian dan kesatuan, serta respon dan aksi gereja yang terlibat di dalam realitas kemiskinan, penderitaan dan menegakkan keadilan.

Melalui Analisa Sosial diharapkan gereja dapat memahami sejarah gereja dan pasang surutnya, dan respon gereja terhadap kejadian-kejadian penting di sepanjang sejarah dan konteksnya. Gereja juga diajak menemukan masalah inti, akar masalah dan penyebab masalah dari case study maupun faktual yang dihadapi gereja-gereja Papua tentang Peningkatan Sumber Daya Manusia, khususnya dalam mendapatkan akses ekonomi dan pekerjaan yang layak.

Peserta juga distimulasi untuk berpikir kritis sehingga mampu membedakan antara persepsi dan fakta serta menemukan faktor penyambung dan pemisah dalam suatu kehidupan di tengah gereja dan masyarakatnya. Hingga mereka mampu mengidentifikasi pesan-pesan etis yang tersirat, dan pada akhirnya mampu membawa etika Kristen dalam dunia, dalam pelayanan di tengah masyarakat.

Setelah tiga hari lokakarya dan dua hari untuk TOT (Training of Trainers), peserta mengungkapkan bahwa materi MPI membuka wawasan, metode analisisnya menarik sehingga peserta menjadi mawas dengan lingkungan, mampu mengidentifikasi dan memberi solusi dengan cara pendekatan-pendekatan yang baru dan cara berpikir baru yang inklusif. “Saya bisa belajar bagaimana menjadi fasilitator dengan segala kesiapan materinya itu sangat luar biasa. Bagi saya merupakan hal yang baru. Ada hal-hal teknis yang ternyata penting untuk diterapkan supaya materi dapat disampaikan dengan baik,” kata Pdt. Arthur Samkakai, M.Min., Pengantar Jemaat Elim, Gereja Protestan Indonesia (GPI) di Papua.

“Tindak lanjut dari MPI adalah para peserta menjadi fasilitator untuk kegiatan serupa yang kami harapkan dapat diadakan oleh gereja dan sinode. Peserta juga diharapkan melaksanakan kegiatan yang sudah mereka presentasikan untuk dipraktekkan di lingkungannya dan kami siap mengawal generasi pertama alumni MPI Papua berhasil,” ujar Pdt. Pdt. Deddy Andi Madong, SH., MA.

Keyakinan Deddy Madong disepakati Anil Dawan yang mengamati bahwa selama pelatihan telah terjadi interaksi para peserta yang adalah pemimpin gereja. “Mereka kompak bersehati dan siap akan menindaklanjuti MPI bergaung di seluruh pelosok Papua. Bergaung bahwa gereja adalah orangnya, dan bukan gedungnya untuk melakukan karya untuk Papua yang damai dan Papua yang sejahtera. Sejalan dengan Mazmur 133 yang mengatakan Indahnya Persaudaraan yang rukun demikian juga Indahnya membangun paradigma Inklusif bagi kita semua,” tandas Dawan. (tD/*)

Related Post

Leave a Reply