Vinsens Al Hayon, Penyuluh Agama Kemenag Kabupaten Kupang
TEMPUSDEI.ID (24 SEPTEMBER 2021)
Seringkali tersua pendapat yang mengatakan bahwa kebhinekaan kerap berimpitan dengan pelbagai kepentingan sosial, ekonomi, dan politik yang memicu konflik. Dikatakan, konflik keagamaan yang banyak terjadi di Indonesia, umumnya dipicu oleh adanya sikap keberagamaan yang eksklusif. Selain itu, adanya kontestasi antar kelompok agama dalam meraih dukungan umat yang dilandasi sikap intoleran.
Sesungguhnya, fakta keragaman, secara khusus eksistensi agama-agama di Indonesia merupakan mozaik yang memperkaya khazanah kehidupan keagamaan kita. Tapi rekaman realitas mencatat bahwa telah terjadi “penonjolan” lewat batas sehingga berbalik arah sehingga keragaman itu “seakan” menjadi ancaman bagi kehidupan rukun bersaudara sebangsa dan setanah air.
Belakangan ini, kesadaran akan eksistensi keragaman agama (dan budaya) menjadi sorotan tajam. Rentetan kasus ujaran fitnah dan kebencian atas nama agama, klaim otoritas budaya yang ujung-ujungnya mengarah kepada perilaku “baku hantam” yang berakibat pada korban nyawa, sungguh melukai kebersamaan.
Realitas ini menghendaki penguatan paham moderat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang plural ini. “Harus mulai dari mana?”
Internalisasi Nilai-nilai di Kampus
Jawaban sementara atas pertanyaan di atas adalah masuk ke kampus. Warga kampus harus menjadi titik bidik. Dasar pemikirannya berangkat dari paham filosofis Driyarkara (1980) tentang pendidikan dan pengajaran. Pembelajaran di kampus adalah upaya membantu proses homonisasi dan humanisasi. Menjadikan manusia menjadi diri sendiri secara holistik, mengenal dan mengembangkan potensinya sehingga tumbuh menjadi manusia yang bertangggungjawab (Homonisasi). Dan membantu seseorang menjadi semakin manusia, berbudaya tinggi dan bernilai tinggi; manusia yang peka terhadap sesama dan lingkungannya (Humanisasi).
Pandangan filosofis itu dengan sendirinya menegaskan bahwa kegiatan utama kampus selain untuk kemajuan akademis, juga merupakan upaya holistik pembentukan kepribadian mahasiswa. Muaranya adalah untuk mencapai kualitas diri yang lebih baik dan benar melalui pemberdayaan seluruh potensi yang dimiliki mahasiswa.
Karena itu “tema moderasi beragama” mendapat ruang besar dan luas dalam dunia kampus, khusus secara tematik dalam Mata Kuliah Kepribadian; Pendidikan Agama Katolik di Perguruan Tinggi Umum.
Belum lama ini digelar workshop “Moderasi Beragama” dengan tema “Internalisasi Nilai Moderasi Beragama melalui Pendidikan Agama Katolik di Perguruan Tinggi Umum,” kepada perwakilan mahasiswa Katolik dari beberapa KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik) seputar Kota Kupang-NTT (16-17/9/21).
Materi yang disajikan para narasumber berupa, “Kajian Konseptual Moderasi Beragama di Indonesia, Nilai-nilai moderasi beragama perspektif Katolik, moderasi beragama dalam pelaksanaan pembelajaran-perkuliahan PAKAT di PTU dan Menjadi Mahasiswa yang berkarakter moderat dan nasionalis.”
Tujuan workshop itu adalah menguatkan pemahaman akan dasar hidup moderasi agama. Pendalaman penghayatan akan nilai-nilai moderat secara Katolik, penerapannya dalam pembelajaran-perkuliahan dan konkretisasinya dalam keseharian hidup mahasiswa.
Tentang “penguatan pemahaman.” Tidak bisa disangkal, realitas plural merupakan gift. Suatu keluhuran kodrati yang harus diterima. Ini kondisi sosial yang telah menjadi rahim kelahiran negara kita. Sebagai suatu keluhuran kodrarti, realitas plural atau kebhinekaan adalah kekuatan sosial (religius dan budaya) dalam membangun bangsa tercinta ini. Di sana ada beribu energi positif yang dapat dikelola untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengannya, persatuan dan kesatuan tercapai, hidup adil dan beradab terwujud serta kesejahteraan seluruh rakyat diupayakan.
Sehubungan dengan internalisasi nilai-nilai moderasi beragama, ditandaskan: “Sebagai mahasiswa Katolik, paham dan hayati hukum utama dan pertama dan hukum kedua dalam Injil Mat. 22:37. Amalkan dalam keseharian hidup sebagai mahasiswa Katolik, generasi masa depan bangsa. Ingat selalu ajaran Gereja dalam Ensiklik Nostra Aetate (no.1,2): “Kita hendaknya menghormati agama-agama dan kepercayaan lain, sebab dalam agama-agama itu terdapat pula kebenaran dan keselamatan. Hendaklah kita berusaha dan bersatu dalam persaudaraan yang sejati demi keselamatan manusia dan bumi tempat tinggal kita.”
Peliharalah tradisi-tradisi suci berupa cara hidup jemaat perdana: “Solider dan saling berbagi, memperhatikan dan bertolong-tolonglah tanpa memandang latar belakang. “Samaritan’s love” menjadi karakter spiritualitas dalam hidup bersama (bdk luk.10:25-37). Praktikkan hidup koinonia (kebersamaan) dan fraternitas (kesesamaan) sebagai tata krama hidup yang terpuji.
Teruslah menghiasi perilaku dengan nilai keadilan, kejujuran, kebenaran dan hidup damai. Sadarlah bahwa manusia adalah penentu damai, Pacem in terris dan damai itu harus memiliki relasi dengan diri, dengan sesama, dengan lingkungan alam dan dengan Tuhan sendiri.
Kedamaian bukanlah sesuatu yang mandeg melainkan seperti manusia. Ia dinamis. Karena itu, damai harus terus diperjuangkan. Semangat kesetiaan kreatif perlu disuburkan untuk menjaga kehidupan yang rukun-damai di antara kita. Terapkan prinsip, “Aku menjadi sebagaimana engkau ada, dan engkau menjadi sebagaimana aku ada,” dalam hidup bersama dalam keberagaman.*