Eleine Magdalena, Penulis buku-buku renungan best seller
TEMPUSDEI.ID (4 OKTOBER 2021)
“Menyiapkan diri dan mental sejak awal untuk menghadapi perbedaan dan penolakan adalah salah satu kunci kuatnya pernikahan beda agama.”
Usia pernikahan Ibu Lilik dan Pak Suyoko sudah 35 tahun. Hingga saat ini mereka tetap berpegang pada iman kepercayaan masing-masing. Dalam perbedaan, mereka mengalami kesatuan. Semoga kesaksian ini dapat menguatkan
Ibu Lilik menerima Pak Suyoko sebagai pasangan hidupnya 35 tahun yang lalu. Kala itu ada beberapa pria lain yang seiman juga mendekatinya. Namun, Ibu Lilik menjatuhkan pilihan pada suaminya sekarang ini. Walaupun sadar pernikahan beda agama banyak tantangan, kesiapan mereka menghadapi masalah membuat pasangan ini mantap melangsungkan pernikahan di Gereja Katolik.
Pastor yang mendampingi menyampaikan agar mereka membaptis dan mendidik anak secara Katolik. Bapak Suyoko menyetujui anak mereka mengikuti iman ibunya. Bapak Suyoko juga berjanji akan melindungi dan mendukung istrinya untuk tetap berpegang pada iman Katolik.
Pernah suatu kali Bapak Suyoko menyampaikan maksud agar istrinya mengikuti agama yang dianutnya. Jawaban Ibu Lilik sungguh mengesankan. Ibu Lilik menanyakan kepada suaminya alasan yang membuat Bapak Suyoko ingin menikahi dirinya. Bapak Suyoko menyebutkan banyak kualitas diri yang dikagumi dan disukai dari istrinya. Ibu Lilik menjawab bahwa semua itu diperolehnya dari Tuhan Yesus Kristus. Kalau Yesus diambil daripadanya, hilanglah segala yang baik dari dirinya itu.
Sebaliknya pernah pula Ibu Lilik meminta suaminya untuk dibaptis Katolik. Bapak Suyoko menjawab bahwa memeluk agama itu bukan seperti memakai baju. Berpindah agama itu tidak semudah berganti baju.
Bapak Suyoko memegang janjinya dengan membaptis anaknya secara Katolik. Tidak hanya mengizinkan namun Pak Suyoko menguruskan semua surat yang diperlukan agar anak mereka dapat segera dibaptis Katolik sejak bayi. Selanjutnya, Bapak Suyoko juga mendukung pendidikan anak mereka di sekolah Katolik.
Bapak Suyoko selalu berpandangan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk berkomunikasi secara pribadi dengan Tuhan. Demikianlah juga jawaban Bapak Suyoko ketika anak mereka mempertanyakan perbedaan agama ayah dan ibunya.
Bapak Suyoko mengikuti banyak kegiatan gereja seperti bakti sosial, mengantar dan menjemput istri dalam kegiatan gereja. Bapak Suyoko tetap mendukung istrinya yang telah dua kali menjabat sebagai ketua Dewan di pastoral Paroki Gereja dan sebagai pendidik di Sekolah Katolik.
Ibu Lilik bersyukur mempunyai seorang suami yang mendukung. Bahkan Bapak Suyoko memandang kegiatan Ibu Lilik di gereja sebagai hal yang positif asalkan tetap dapat membagi waktu dan pikiran dengan bijaksana.
Menyiapkan diri dan mental sejak awal untuk menghadapi perbedaan dan penolakan adalah salah satu kunci kuatnya pernikahan beda agama. Komunikasi dan dialog yang mendalam mengenai agama dan persoalan lain menjadi kunci keutuhan keluarga. Pertengkaran masalah agama hampir tidak pernah mereka alami. Penolakan dan kecurigaan pihak luar yang lebih kerap mereka alami. Namun, ini semua dapat diatasi karena keduanya saling mempercayai, saling mendukung dan saling melindungi. Justru dengan perbedaan ini kualitas dialog dan komunikasi antara mereka menjadi lebih dalam dan kuat.
Kualitas hubungan mereka dibangun lewat dialog dan komunikasi yang mendalam. Lewat pertanyaan-pertanyaan iman satu sama lain diingatkan untuk lebih bertanggungjawab dan membangun kehidupan iman yang lebih dewasa, murni, dan tulus. Hal yang mungkin banyak diabaikan oleh pasangan lain yang seiman.
Kehadiran Ibu Lilik di lingkungan non-Katolik pada awalnya masih diterima dengan prasangka. Namun, pelan-pelan akhirnya justru membawa kedekatan dan perubahan cara pandang yang makin positif dari orang-orang non-Katolik terhadap umat Katolik.
Ibu Lilik memegang teguh iman dan cintanya pada Tuhan sehingga Tuhan selalu memberi kemudahan dan damai sejahtera bagi keluarganya. Keterlibatan mereka dalam pelbagai kegiatan sosial juga buah dari iman mereka. Tuhan sungguh nyata menyertai setiap niat baik mereka. Keluarga ini bersaksi bahwa jika mereka ingin menolong orang lain maka selalu ada jalan. Tuhan memberikan pertolongan tepat pada waktunya. Jika mereka mendapat rezeki lebih, mereka akan mengingat orang lain yang membutuhkan tanpa memandang dari agama apa pun.
Akhirnya mereka melihat bahwa mereka menyembah Tuhan yang sama, yang maha baik dan maha kuasa. Dari hari ke hari mereka menemukan ada kesatuan hati dalam perbedaan karena mereka masing-masing mempunyai hati yang tulus murni mencari Sang Cinta sejati.*