Yoseph Yapi Taum, Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Tiga hari menjelang Khmer Merah mengambil kekuasaan dari Jenderal Lon Nol, Kamboja untuk pertama memiliki seorang Uskup yang lahir dari bumi Khmer sendiri, yaitu Mgr. Joseph Chhmar Salas. Dia adalah seorang Uskup yang seakan-akan disiapkan untuk memasuki ladang pembantaian Khmer Merah, sebuah chamber of terror.
Pada tanggal 17 April 1975, sang uskup bersama ratusan ribu warga lainnya dipaksa Khmer Merah meninggalkan kota Phnom Penh menuju desa-desa untuk mulai membangun sebuah negara utopis berbasis agraris. Turut serta dalam rombongan sang Uskup tiga pastor Khmer: Joseph Chhmar Salem (adik kandung sang Uskup), Marcel Troeung Chamroeun dan Bernanrd Chhim Chunsar, dua orang frater, dan enam orang suster.
Lima bulan setelah menjalani kerja paksa di sawah-sawah dan ladang-ladang pedesaan, Mgr. Salas terserang beri-beri sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan berat. Meski demikian, beliau memilih menjadi anggota pasukan khusus yang disebut Tentara Bergerak (mobile troops) yang pekerjaannya justru amat sangat keras: makan dan tidur di tempat kerja. Mengapa beliau memilih pekerjaan ini? Karena tanggung jawabnya sebagai seorang uskup: dia ingin mencari peluang untuk bisa bertemu para pastor, suster, dan frater yang terpisah-pisah, menemui komunitas Katolik yang tercerai-berai, bertemu orang Katolik dan memberikan berkat dan peneguhan iman.
Tetap Jaga Imanmu
“Jangan lupa berdoa. Meskipun kalian lapar, menderita dan sakit, tetap jagalah imanmu dan sebarkan. Persembahkan hidupmu demi keselamatan Kamboja,” demikian pesan Sang Uskup kepada orang-orang Katolik yang sempat dijumpainya. Karena tidak bisa lagi bekerja keras, Khmer Merah akhirnya menugaskan Mgr. Salas menjaga peternakan babi.
Menurut aturan Khmer Merah, orang sakit tidak boleh makan; kalau orang bisa makan, berarti dia tidak sakit. Mgr. Salas pun tidak diberi makan. Ketika rasa lapar datang mengentak, Mgr. Salas terpaksa memakan makanan babi. Seperti cerita anak hilang di Kitab Suci. Akibatnya penyakit Mgr. Salas semakin hari semakin parah hingga pada akhirnya nyawa Sang Uskup tak bisa ditolong.
Beliau meninggalkan dunia fana ini pada tahun 1977. Jabatan Uskup disandangnya hanya selama dua tahun. Dua tahun yang penuh gejolak dan penderitaan dahsyat. Dua tahun hidup dalam teror dan penindasan.
Mgr. Salas mendatangi umatnya pada saat-saat mereka mengalami penindasan, penganiayaan, ketakutan, kebimbangan, kelaparan. Di saat-saat mereka membutuhkan penolong yang tak ingkar, sahabat yang tak punya pamrih. Bahkan dia sampai rela menyerahkan nyawanya bagi mereka.
“Tak ada kasih yang lebih besar daripada kasih orang yang menyerahkan nyawanya bagi orang-orang yang dikasihinya.” Kesetiaan dan ketekunan Mgr. Joseph Chhmar Salas dalam imannya tentu saja meneladani Sang Panutannya.*