Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris (CSsR)
TEMPUSDEI.ID (7/11/21) Santa Teresa dari Calcutta berkata: “Jika engkau memberikan apa yang tidak engkau butuhkan, itu bukan pemberian”. Bunda Teresa senang bercerita tentang seorang pengemis yang dijumpainya suatu hari. Pengemis itu berkata: “Bunda Teresa, setiap orang memberi kepadamu. Aku juga ingin memberi kepadamu. Hari ini saya hanya mendapat 15 rupee (30 sen). Aku ingin memberikan ini semua kepadamu”.
Bunda Teresa terpana. Dalam hati dia berkata: “Jika aku menerima pemberiannya, dia tidak akan makan malam ini. Tapi jika aku menolak pemberiannya, itu akan melukai perasaannya”. Bunda Teresa lalu mengulurkan tangannya dan mengambil pemberian pengemis ini. Dan lihatlah betapa wajah pengemis ini dipenuhi kegembiraan yang luar biasa. “Aku belum pernah melihat wajah sukacita seperti ini”, katanya. Sekalipun dia pengemis, dia bangga pernah memberi kepada Bunda Teresa.
Bacaan Kitab Suci hari ini berkisah tentang janda miskin yang memberi dari kekurangan.
Janda pertama seorang non-Yahudi, dari suku Siro-Fenesia. Dia tinggal di daerah Sidon, tepatnya di Sarfat. Dia ditemui oleh nabi Elia yang meminta makanan pada saat kelaparan hebat sedang melanda wilayah itu. Dari segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli, harta terakhir yang dimilikinya bersama anak tunggalnya, dibuatnyalah sepotong roti untuk nabi Elia.
Keikhlasannya memberi dan keyakinannya akan kata-kata nabi Elia mendatangkan mukjizat: tepung dalam tempayan dan minyak dalam buli-buli tidak habis sampai masa kelaparan berlalu ( 1 Raj 17:16).
Allah mengganjar orang yang memberi dengan tulus dari kekurangan sekaligus percaya bahwa Allah akan menunjukkan cinta kepadanya.
Kisah kedua tentang persembahan seorang janda miskin yang dipuji oleh Yesus (Mark 12:41-44). Kisah ini adalah kontras dari kisah sebelumnya dimana Yesus mengkritik para tokoh agama, yakni Ahli Taurat yang menunjukkan kesombongan dan kemunafikan: memakai jubah panjang, duduk di tempat terhormat dan berdoa panjang-panjang.
Seorang janda tanpa anak mengalami tragedi ganda. Dalam kemiskinannya dia tidak mempunyai harapan akan masa depannya. Di masa tua hidupnya akan sepenuhnya tergantung pada belaskasihan orang. Akan tetapi hal ini tidak membuatnya kehilangan ketaatan akan kewajinan keagamaan untuk beramal, tidak mengurangi kerelaannya untuk berbagi dan keyakinan akan kasih Allah. Duit dua peser, yang merupakan harta satu-satunya, tetap diberikan sebagai persembahan.
Kepada siapa uang persembahan ini? Menjadi Ahli Taurat pada masa itu bukan pekerjaan profesional yang digaji. Kebanyakan dari mereka justru miskin. Uang hasil persembahan ini biasanya dipakai untuk kepentingan peribadatan, pemeliharaan Bait Allah dan menghidupi para Ahli Taurat ini.
Yang dikritik oleh Yesus adalah bahwa banyak dari mereka yang justru mempergunakan uang persembahan ini untuk hidup mewah dan memperkaya diri. Mereka memanfaatkan kesalehan orang-orang beriman termasuk yang miskin, terutama para janda untuk kemakmuran hidup mereka. Kekuasaan keagamaan dan status bisa mendorong para pemimpin agama pada keserakahan dan korupsi.
Janda ini dipuji oleh Yesus, bukan terutama karena kemiskinannya, tapi karena ketaatan, kesalehannya, dan keikhlasan memberikan semua yang dia punyai, termasuk jaminan masa depannya. Dengan kata lain, dia memberikan dirinya secara total dalam tangan Tuhan. Seolah-olah dia berkata: seluruh yang kumiliki sudah kuserahkan, sekarang hidupku hanya tergantung pada Tuhan.
Biasanya kita menilai orang dari apa yang dia miliki. Yesus menilai orang dari apa yang dia berikan dan maksud di balik pemberian ini.
Seorang anak kecil usia 6 tahun pertama kali ikut misa. Ketika tiba di rumah neneknya bertanya: “Bagaimana pengalamanmu hari ini, dek?”. Anak ini jawab: “Saya rasa oke. Tapi nampaknya tidak adil bahwa Pastor melakukan semua pekerjaan di atas altar. Kemudian beberapa orang datang dan mengambil semua uang dari umat yang hadir”.
Salam hangat dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba, NTT